Merpati, Senja, dan Lelakiku – Cerpen Karina Dwi Anjarsari

Berdamai dengan Diri Sendiri

Merpati, Senja, dan Lelakiku
Karya: Karina Dwi Anjarsari

Senja mulai membelah cakrawala menjadi setengah jingga, angin yang berhembus dari arah selatan menerbangkan ujung rambut panjang Keisha yang diikat asal. Ia menaiki tangga menuju rooftop sekolah dengan menggendong tas ransel coklat di punggungnya. Gadis yang empat bulan lagi akan duduk di bangku kelas 11 itu terlihat kusut wajahnya, bagaikan kertas yang habis dicoret-coret kemudian diremas-remas dan dibuang ke tong sampah.

Ketika ia telah sampai di rooftop kedua matanya terbelalak melihat seorang laki-laki yang berseragam sama dengannya berdiri di ujung rooftop dengan merentangkan kedua tangannya. Keisha lantas berlari ke arah laki-laki berjaket abu- abu itu dan langsung menarik tangannya.

“Brukkk!”

Keduanya terjatuh dengan pandangan mata yang saling bertemu. Sepuluh detik kemudian keduanya tersadar dan berdiri.

“Lo udah nggak waras ya?!” cerca Keisha, lelaki itu hanya diam dengan wajah kebingungan.

“Kalau lo punya masalah, jangan jadi pengecut yang melarikan diri dari masalah. Lo pikir setelah bunuh diri masalah lo akan selesai?” lanjut gadis itu dengan sorot mata berapi-api, sementara lelaki itu malah tersenyum dan geleng-geleng kepala.

Laki-laki itu kemudian melipat kedua tangannya di atas perut, kemudian mendekat ke arah Keisha dengan tampang mengejek. “Jangan mengkhawatirkan orang lain sementara diri anda sendiri terlihat memprihatinkan,” ujar lelaki itu memandang Keisha dari atas hingga bawah.
Penampilan Keisha memang jauh dari kata rapi. Selain rambutnya berantakan, seragam putih abu-abunya kusut dengan kemeja yang tidak dimasukkan dalam rok, bekas cat hitam di sepatunya mulai memudar sehingga menampakkan garis putih yang sengaja ia tutupi untuk menghindari sidak atribut. Sementara lelaki itu terlihat rapi dan sejuk dipandang.

“Saya pikir anda yang ke sini untuk bunuh diri, Vega,” ucap laki-laki itu membaca name tag Keisha yang memang tertulis Keisha Vega Yulianti beserta badge kelas 10 di bawahnya.

“Panggilan gue Keisha! Bukan Vega, sotoy!”

“Tidak, panggilan Vega lebih cocok untuk anda. Wahai perempuan kasar dan pemarah yang lahir di bulan Juli.”

“Dari mana lo tau gue lahir bulan Juli?”

“Memang siapa yang tidak tahu bahwa Yuli itu artinya bulan Juli? Nama pasaran!”

“Terserah lo, wahai orang ga jelas yang ga punya nama!”

Keisha beranjak pergi dari rooftop meninggalkan lelaki yang belum ia ketahui namanya itu karena tidak memakai name tag dan badge kelas. Sementara lelaki itu hanya memandang Keisha dengan terheran-heran.

“Lohhh… kok udah dikunci sih gerbangnya! Gimana gue pulangnya?” ujar Keisha setibanya di gerbang depan sekolah. Ia menendang gerbang yang tingginya lebih dari dua kali tinggi badannya itu karena kesal.

“Ck, gue panjat aja kali ya?”

“Hey!” teriak seseorang yang membuat Keisha mengurungkan niatnya untuk memanjat gerbang itu. Ternyata lelaki di rooftop tadi yang meneriaki Keisha barusan. Lelaki itu tertawa dan berjalan ke arah Keisha yang wajahnya tampak semakin kesal.

“Lihatlah siku anda berdarah!” ujar lelaki itu menunjuk siku kanan Keisha yang tanpa ia sadari memang berdarah karena terjatuh saat menarik lelaki itu tadi.

“Selain kasar dan pemarah, anda juga gegabah ya!” lanjut lelaki itu tersenyum meremehkan. Keisha hanya menghela nafas dan menahan amarah yang siap ia ledakkan pada lelaki yang sedari tadi mengatainya itu.
“Bodoamat! lagipula ngga sakit.”

“Dasar bebal! Bagaimana bisa anda membiarkan luka kecil itu, bisa saja nanti menyebabkan infeksi,” tutur lelaki itu kemudian ia mengambil sebuah kotak P3K mini dari dalam tasnya.

“Mau ngapain lo?”

“Mengobati luka anda, lagipula luka itu ada karena saya.

Lelaki itu mengambil sebuah kapas dan membasahinya dengan Rivanol, kemudian membersihkan darah di siku Keisha yang terluka, sementara Keisha hanya tertegun melihat sikap lelaki yang tidak pernah ia duga itu. Setelah lukanya bersih, lelaki itu lanjut menempelkan plaster.

“Lo habis ekstrakurikuler PMR?” tanya Keisha kepada lelaki itu yang sedang merapikan kotak P3Knya dan memasukkannya kembali ke dalam tas.

“Tidak.”

“Kok lo bawa kotak P3K segala.”

“Tidak ada larangan membawa kotak P3K di sekolah ini kan?”

“Ya engga sih.”

“Terus kenapa? Lagipula siapa yang pertama kali akan menolong kita saat terjatuh, kalau bukan diri kita sendiri.”

“Hmmm.”

“Ya sudah, ikuti saya!”

Lelaki itu berbalik badan dan mulai berjalan, sementara Keisha masih ragu untuk mengikutinya.

“Anda mau pulang tidak? Kalau tidak mau ya sudah, tidur saja di sini atau panjat saja gerbang itu,” ujar lelaki itu menghentikan langkahnya dan melihat ke arah Keisha yang masih saja terdiam. Keisha tidak punya pilihan lain, karena ia tidak mungkin bisa memanjat gerbang tinggi itu, akhirnya ia terpaksa mengikuti lelaki itu.

Setelah sekitar 3 menit berjalan, keduanya sampai di gerbang belakang sekolah yang lebih pendek, tepatnya hanya setinggi telinga Keisha.

“Naiklah!” pinta lelaki jangkung yang sudah dalam posisi berjongkok itu.

“Lo yakin?”

“Yakinlah, lagian pasti berat anda hanya seperti tumpukan kapas!”

“Sembarangan aja lo!”

“Iya-iya maaf, cepat naik!”

Keisha melepas sepatunya kemudian ia naik ke atas punggung lelaki itu, lalu lelaki itu sedikit meninggikan jongkoknya dan dengan mudah Keisha dapat meloncat ke luar pagar.

“Pulanglah!”

“Emang lo ngga pulang?”

“Nanti saja.”

“Lo bukan mau bunuh diri beneran kan?”

“Engga, saya masih waras.”

“Terus mau ngapain?”

“Selain kasar, pemarah, gegabah, dan bebal, anda juga kepo ya!”

“Terserah deh! Gue pokoknya udah ingetin lo untuk ngga bunuh diri.”

“Walaupun kasar, pemarah, gegabah, bebal, dan kepo. Sepertinya anda orang yang perhatian.”

Keisha mendengus kesal, ia tidak ingin lagi memperpanjang perdebatannya dengan lelaki tidak jelas itu. Lagipula kenapa ia harus mengkhawatirkan lelaki yang jelas-jelas tidak ia tahu namanya? Kalaupun lelaki itu benar-benar akan bunuh diri dan meninggal tidak akan mempengaruhi hidupnya. Akhirnya, Keisha memutuskan untuk pulang meninggalkannya sendirian.

Sepanjang malam Keisha masih saja kepikiran dengan laki-laki itu bahkan ia sampai bermimpi bahwa laki-laki itu benar-benar melompat dari atas rooftop. Keesokan harinya setelah ia mengikuti ekstrakurikuler melukis dan sekolahnya sudah sepi, dengan terburu-buru ia menaiki tangga menuju rooftop untuk memastikan keadaan lelaki itu. Jika tidak ditemukan mayatnya di bawah, mungkin saja ia telah meninggal di atas dengan meneguk racun atau memotong urat nadinya, begitulah pikir Keisha.

Sesampainya di atas rooftop ia tidak mendapati lelaki itu di sana, ia kebingungan dan mencarinya di setiap sudut dan sisi rooftop. Dan ia menjadi sangat khawatir ketika ia hanya mendapati tas ransel hitam dan jaket abu-abu milik lelaki itu tergeletak di salah satu sudut rooftop.

“Anda ke sini lagi rupanya.”

Suara itu lantas mengagetkan Keisha, ia berbalik badan dan melihat ke asal suara. Hatinya seketika terasa lega, ternyata lelaki yang dicarinya itu masih hidup. Ia datang dengan seekor merpati putih cantik yang bertengger di bahunya.

“Kenapa? Apakah anda masih mengira saya benar-benar akan bunuh diri?” tanya lelaki itu.

“Iya, karena wajah lo terlihat bodoh!” jawab Keisha kesal. Lelaki itu malah menertawakannya.

“Sudah saya bilang, saya ngga mau bunuh diri.”

“Terus ngapain lo di sini?!”

“Ssssttt! Berbicaralah dengan lembut tanpa ngegas, anda membuatnya takut, Vega,” ucap lelaki itu sembari menenangkan merpati putih di bahunya yang hendak kabur.

“Sorry, memangnya merpati siapa itu?”

“Milik alam, saya menamainya Senja karena ia hanya datang di waktu senja.”

“Hah? Jadi lo ke sini untuk bertemu dengan merpati ini?”

“Ya begitulah.”

Lelaki itu kemudian mengambil sepotong roti dari dalam tasnya, kemudian ia meletakan burung merpati itu di pinggiran rooftop, lalu ia duduk bersila memandangi dan memberinya makan dengan roti yang ia ambil tadi. Sementara itu Keisha hanya menyaksikan apa yang dilakukan lelaki aneh itu dengan heran. Karena lelah berdiri mematung penasaran, akhirnya ia duduk di samping lelaki itu.

“Kenapa anda masih di sini?” tanya lelaki itu.

“Tentu saja menunggumu, aku membutuhkan punggungmu untuk melompati gerbang belakang, karena pasti gerbang depan sudah ditutup lagi.”

“Apakah saya tidak salah dengar?”

“Memangnya apa yang salah?”

“Cara bicara anda berubah.”

“Katamu tadi harus bicara lembut supaya Senja tidak takut.”

“Baguslah. Memang lebih baik seperti itu.”

Desir angin sepoi-sepoi menerpa wajah lelaki itu yang bisa dikategorikan dalam kata tampan. Entah mengapa saat melihatnya seketika membuat jantung Keisha berdetak lebih cepat, apalagi sedari tadi lelaki itu tersenyum pada merpatinya. Untuk mengusir pandangannya dari lelaki itu, Keisha mengambil ponsel dari dalam tasnya, kemudian ia berdiri dan memotret pemandangan senja yang memang sangat indah dari atas sana.

“Uummm.. Bolehkah aku memfoto kamu dan Senja?” tanya Keisha ragu-ragu.

“Untuk apa?”

“Lihat saja nanti!”

“Baiklah, terserah anda!”

Keisha dengan pandai memainkan kamera ponselnya untuk memotret lelaki dan merpati itu, sehingga menghasilkan foto yang tidak kalah bagus dengan hasil jepretan fotografer profesional. Setelah mendapatkan foto itu, Keisha kembali duduk dan mengambil selembar watercolour paper, cat air, palet, dan kuas dari dalam tasnya lalu mulai melukis.

“Saya tidak menyangka, perempuan kasar dan pemarah seperti anda pandai melukis.”

“Apakah itu sebuah ejekan lagi?”

“Tidak. Itu sebuah kekaguman, Vega.”

“Hmmm… by the way siapa namamu?”

“Oh iya, anda belum tahu nama saya ya. Nama saya Altair.”

Keisha sontak menoleh ke arah lelaki yang ternyata bernama Altair itu. Wajahnya kini dipenuhi raut terkejut dan tidak menyangka.

“Altair? Apakah orang tuamu juga pecinta bintang?”

“Yap, karena itulah saya menyukai setiap apa yang ada di langit termasuk merpati dan senja.”

“Apa karena itu juga kau memanggilku Vega?”

“Ya, aku suka nama itu.”

“Oh iya. Kau kelas berapa?”

“Dua belas. Kenapa? Saya terlihat terlalu muda ya?”

“Dih, pedenya selangit lo!” ujar Keisha mencoret pipi Altair dengan kuasnya.

“Dasar adik kelas durhaka!” hardik Altair menonyor pelan dahi Keisha. Sementara Keisha tertawa puas sembari terus melanjutkan kegiatan melukisnya. Sampai tidak terasa hampir setengah jam Keisha dan Altair berada di rooftop. Langit kini berubah semakin petang, burung merpati putih itu juga sepertinya sudah ingin pulang ke sarangnya.

“Apakah anda tidak pulang saja sekarang? Lanjutkanlah melukisnya di rumah! Orang tua anda pasti khawatir jika anda tidak segera pulang.”

“No! Sedikit lagi, kok. Emang kamu ngga mau pulang juga?”

“Mana mungkin saya pulang meninggalkan anda sendirian. Anda pendek dan tidak bisa menaiki gerbang belakang tanpa bantuan saya.”

“Hmmm… terus saja mengejek.”

Altair tertawa dan terus memandangi gadis berkulit putih pucat yang dua tahun lebih muda di depannya itu. Gadis pemarah yang baru ia temui kemarin sore itu tanpa sadar telah menorehkan warna dengan kuasnya dalam kehidupan Altair yang memang suram sebelumnya. Tidak lama kemudian, gadis itu telah selesai melukis.

“Taraaa! Bagus kan?” ujar Keisha menunjukkan hasil lukisannya dengan bangga kepada Altair.

“Luar biasa! Bolehkah saya memilikinya?”

“Tentu saja, aku melukisnya untukmu.”

“Oh ya? Terima kasih banyak, Vega. Apa judul lukisan ini?”

***

Altair tersadar setelah mengingat kembali lukisan yang kini berada di genggaman tangannya.

“Bagaimana dengan keadaan gadis itu? Apakah dia masih melanjutkan studi atau sudah bekerja?” ucap Altair kepada Arie, sahabatnya sejak kecil.

“Lebih baik kau fokus resolusi untuk tahun depan, segera menikah karena usiamu sudah cukup matang.”

“Tidak bisa, aku sedang mencari Vega.”

“Seberapa penting dia sampai harus menunda?”

“Aku belum mengetahui judul lukisan yang diberinya.”

“Bagaimana setelah mengetahuinya? Kau akan mengajak dia menikah?”

“Tepat sekali. Desember tahun 2023 ini adalah bulan terakhir dimana aku berusaha menemukan keberadaan Vega.”

“Oke, semoga berhasil. Aku pulang dulu, tak sabar hati ingin makan masakan istri tercinta.”

“Dasar pamer!”

Arie tertawa mendengar itu sambil berjalan meninggalkan ruangan kerja. Altair meraih ponsel di atas meja, kemudian membuka pesan dari asisten pribadinya. Ternyata berisi tentang informasi tempat tinggal Vega yang baru. Altair bergegas pergi ke mobil dan menuju alamat tersebut. Perasaan senang bahkan takut bercampur jadi satu. Ia khawatir jika dighosting lagi.

Sesampainya di tujuan, tampak sebuah rumah elit bercat putih. Selain halaman depan dipenuhi oleh tanaman hias, beberapa lukisan juga terpajang pada bagian sudut dinding dekat pintu masuk. Ia yakin bahwa lukisan tersebut adalah milik Vega.

Altair segera mengetuk pintu, semoga hari ini menjadi usaha terakhir ia mencari Vega. Satu kali ketukan tidak ada jawaban, dua kali ketukan sama saja, akhirnya tiga kali ketukan terdengar suara perempuan yang membalas salam Altair. Setengah pintu pun terbuka, memperlihatkan seseorang yang membuat Altair sungguh merasa lega. Rasa kagumnya kepada gadis yang ditemui waktu SMA tetaplah sama.

“Altair?”

“Vega?”

“Lo selalu saja menyebalkan, nama Gue Keisha!”

“Hahaha, khusus saya memanggil anda dengan sebutan Vega. Ini beneran gak boleh masuk dulu?”

“Oh iya sorry, aku masih agak kaget.”

“Betulkah begitu?”

Keisha mengangguk cepat.

“Akan lebih terkejut jika tahun depan saya mengajak anda untuk menikah. By the way apa judul lukisan ini?” ucap Altair sambil menunjukkan saksi bisu kenangan manis diantara mereka berdua.

“Merpati, Senja, dan Lelakiku.”

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *