Mimpi-Mimpi yang Berlabuh – Cerpen Andi Mutiara Muthahharah

puisi resolusi

Mimpi-Mimpi yang Berlabuh
Karya: Andi Mutiara Muthahharah

Salam sejahtera, kakak-kakak mahasiswa KKN.

Namaku Abizali. Umurku lima belas tahun.

Aku sudah lulus sekolah dasar dua tahun lalu. Dan ijazah sekolah dasar itu sekarang sama sekali tidak berguna. Hanya tersimpan rapi di dalam lemari kayu tua, beralih fungsi menjadi alas tumpukan baju.

Bapak dulu benar-benar keliru soal aku yang tidak boleh berhenti sekolah, harus menamatkan pendidikan setinggi mungkin agar tidak berakhir menjadi petani biasa sepertinya.

Omong kosong! Aku tidak pernah lagi percaya soal itu! Soal bualan masa depan kami yang penuh kesempatan. Soal bualan pendidikan dan sekolah-sekolah jauh yang kelak akan kami datangi. Soal sekolah dasar satu-satunya di kampung kami yang akan diperbarui dan ditambahi fasilitasnya.

Dulu, aku selalu bersemangat kalau membahasnya. Berbinar-binar mataku membayangi akan mengunjungi sekolah-sekolah jauh dengan gedung mewah dan menara tingginya sehingga aku bisa melihat seluruh kota dari atas sana. Jadilah aku begitu bersemangat menyelesaikan sekolah dasar, meski di bawah seluruh keterbatasan fasilitas sekolah kami. Namun, semangat itu pada akhirnya pecah menjadi kepingan-kepingan putus asa, harapan itu rubuh begitu saja bersamaan dengan rubuhnya sekolah kami saat seminggu menjelang ujian nasional.

Bangunan sekolah yang sudah tua itu memang hanya tinggal menunggu waktu untuk roboh. Kepala sekolah kami, Pak Tandi, sudah berulang kami mengajukan surat permintaan fasilitas dan renovasi sekolah kami ke pemerintah, tapi tak pernah digubris. Bahkan hingga bangunan itu sudah ambruk sekalipun, membuat kami terpaksa harus ujian di lapangan kampung dengan karpet anyaman besar sebagai alas lesehan.

Dua tahun kemudian, tepat di umurku yang lima belas tahun ini, di mana aku sudah mengubur dalam-dalam harapanku sekaligus harapan Bapak untuk melihatku menjadi orang dengan pendidikan tinggi, renovasi dan perbaikan bangunan itu baru terpenuhi. Ke mana saja mereka dua tahun terakhir? Baru datang hari ini, setelah aku sudah terlanjur memilih untuk meneruskan pekerjaan Bapak sebagai petani.

Aku menatap benci truk-truk pengangkut pasir dan batu bata yang akhir-akhir ini keluar masuk kampung. Semenjak rubuhnya sekolah kami, rubuh pula harapan besarku untuk sekolah jauh? Buat apa? Aku sudah menyerah soal itu! Omong kosong soal pendidikan tinggi jika kelak hanya melahirkan orang-orang bergelar namun tak punya pekerti! Omong kosong semua janji-janji masa depan yang bisa didapat di luar kampung kami.

Hari itu, saat menyaksikan sendiri puing-puing reruntuhan sekolah kami yang puluhan tahun tak dijamah oleh renovasi, aku menyerah. Aku benar-benar menyerah. Lebih memilih melanjutkan kehidupan seperti Bapak.

Namaku Abizali. Umurku lima belas tahun. Dan aku sudah menyerah pada harapanku soal pendidikan tinggi. Aku sudah menyerah, lantas kenapa?

***

Assalamu alaiku. Salam kenal …

Nama saya Adila. Usia saya dua puluh tiga tahun saat ini.

September tahun lalu, acara wisuda digelar di kampus saya. Banyak teman-teman seangkatan saya yang sudah diwisuda hari itu. Seharusnya, saya juga berada di antara mereka. Memakai toga dan memiliki gelar resmi yang dibacakan saat naik di atas panggung. Namun, itu hanya mimpi yang terlalu tinggi bagi seorang gadis miskin seperti saya.

Padahal revisi skripsi selalu saya kerjakan sesuai arahan dosen pembimbing. Selalu berusaha tepat waktu. Namun entah mengapa dosen pembimbing saya itu susah sekali untuk ditemui. Sudah dua minggu saya ke kampus setiap hari untuk menemuinya. Menunggu dari pagi hingga sore. Namun nihil. Pesan saya pun tak kunjung dibalasnya. Ini tak sekali dua terjadi. Namun berkali-kali. Membuat skrispi yang saya susun setengah mati jadi terhambat, dan saya harus bersiap membayar uang SPP kuliah lagi karena sebentar lagi akan memasuki semester sembilan.

Menyesakkan sekali. Dari mana pula gadis kampung seperti saya memperoleh uang lagi untuk membayar tambahan semester. Menyusun skripsi ini saja setengah mati bagi saya karena harus membayar print dan semacamnya.

Apakah seseorang dengan gelar akademisi seperti dosen boleh seenaknya bersikap seperti itu terhadap mahasiswa? Saya tidak kesal dengan sistem pendidikan di negeri ini. Tapi saya kesal dengan orang-orang yang bergelut di dalamnya. Bagaimana mungkin orang-orang yang seperti dosen saya itu bisa mendidik anak muda untuk memajukan negeri ini? Miris sekali.

Pada akhirnya saya tahu, usaha memang tak selalu membuahkan hasil. Saya lalu pulang ke kampung halaman tanpa gelar yang dari dulu saya idam-idamkan tersebut. Saya menyerah, peduli apa? Empat tahun saya hidup di kota sudah lebih dari cukup untuk melihat begitu banyak kesenjangan dan orang-orang nirmoral yang berkeliaran.

Nama saya Adila. Dan di sinilah saya sekarang. Di kampung halaman menjadi guru tambahan di salah satu sekolah dasar yang bangunannya hanya ada dua kelas karena tidak ada renovasi semenjak reruntuhan beberapa tahun silam. Kini, keseluruhan muridnya hanya berjumlah enam belas orang.

Enam belas orang yang takkan saya perlakukan seperti dosen saya dulu memperlakukan saya. Enam belas orang yang akan saya berikan nila-nilai moral dan kebaikan. Enam belas orang yang akan menjadi anak muda jujur dan mencerahkan yang masa depannya tidak akan bisa direnggut oleh siapapun.

Nama saya Adila. Dan saya juga sudah menyerah untuk menuntaskan gelar saya di universitas kota. Saya sudah menyerah. Lantas mengapa ?

***

Assalamu’alaikum kakak-kakak KKN …

Namaku Mahmuddin. Umurku sembilan belas tahun.

Dulu, aku punya harapan untuk menjadi pedagang besar di kota. Pasti menyenangkan. Berinteraksi dengan orang-orang kaya dan mendapat keuntungan besar di sana. Aku akan pulang dengan uang banyak dan membuat kakek bangga padaku. Ah, membayangkannya saja rasanya sudah menyenangkan sekali.

Aku tidak pernah ke kota sebelumnya. Aku sejak dulu menginginkannya. Lepas tamat sekolah menengah atas, aku bekerja keras di kebun kelapa sawit milik kakek, menjual hasilnya kepada orang-orang kota yang memang sudah langganan kami. Hasilnya dipakai untuk sehari-hariku dan kakek, dan sebagian lagi kutabung. Kelak, tabungan itu akan kugunakan untuk mewujudkan harapanku.

Entah aku harus senang atau tidak, tiba-tiba saja pada suatu hari di bulan Agustus yang basah, harapan kecil itu menghampiriku. Aku memperoleh kesempatan untuk ke kota. Tawaran itu datang dari kakek sendiri yang tiba-tiba memberiku uang dan menyuruhku berangkat ke kota selama tiga hari.

“Kau perlu belajar, memperhatikan setiap sudut-sudut kota jika memang kelak kau akan mencari penghidupan di sana. Pergilah, dan belajarlah banyak hal, Udin. Ceritakan pada kakek apa yang kau dapat selama tiga hari itu. Semoga itu menjadi pelajaran membekas nantinya saat impianmu terwujud.” begitu penjelasan kakek padaku saat memberikan sejumlah uang.
Maka aku tanpa ragu menerimanya, mengucapkan terima kasih dan memeluk kakek. Besoknya, aku berangkat dengan menumpang mobil pengangkut kelapa sawit yang membawa hasil panen kami.

Aku tidak pernah menyangka kehidupan di kota ternyata jauh dari yang aku bayangkan. Kota penuh dengan gedung-gedung tinggi, juga polusi. Membuatku merasa sesak bahkan saat pertama kali menghirup udaranya. Pohon-pohon jarang kelihatan. Langit tidak sebiru di kampung, penuh dengan asap hitam bekas cerobong pabrik dan kendaraan bermotor.

Kupikir, orang-orang di kota semuanya sejahtera. Nyatanya, ada banyak gelandangan dan pengamen jalan yang kutemui di jalanan dan lampu merah. Begitu banyak makanan tersedia di sepanjang jalan, gerobak-gerobak penuh makanan lezat beraneka macam. Namun, masih ada saja orang-orang yang kelaparan. Aku mengamati setiap inci kehidupan kota dengan pemandangan miris.

Orang-orang di kota selalu berjalan cepat seolah dikejar oleh sesuatu. Kesibukan-kesibukan yang entah apa. Dengan ponsel canggih yang mungkin setiap orang punya, mereka bisa melakukan apa saja. Memesan makanan, berbelanja, tanpa perlu menunggu lama atau berpanas-panasan memilih barang. Sementara di sudut lain kota, orang-orang nampak mengantri menunggu perolehan sembako dari pagi hingga sore, kadang berdesak-desakan demi memperoleh bagian.

Kehidupan di kota berjalan tidak seimbang. Di sudut lain, orang-orang bermandikan uang, sementara di sudut lainnya orang-orang sibuk mengais sisa makanan. Maka aku tidak terkejut lagi ketika mendengar bahwa sebagian besar tindakan kriminal dan asusila sering terjadi di kota.

Tiga hari lebih dari cukup untuk kemudian mengubur dalam harapanku menjadi seorang saudagar besar di kota. Bapak mungkin heran. Tapi beginilah aku, Pak. Bukan berarti aku mudah menyerah. Namun semua pemandangan yang kulihat itu sudah cukup untuk membuatku merasa bersyukur hidup damai di kampung, meski dijerat kemiskinan dan tidak pernah bercahaya oleh lampu-lampu neon dan LED seperti yang kutemui di kota, karena pasokan listrik memang belum sampai di kampung kami.
Sudah cukup tentang harapan itu. Lupakan soal menjadi pedagang besar. Bahkan walau aku tetap mengabdi sebagai seorang petani kelapa sawit bertahun-tahun kemudian, aku yakin hidupku akan baik-baik saja selama aku masih ada di kampung ini.

Setidaknya di sini, semuanya berjalan seimbang. Tidak ada yang berada di atas sekali, sehingga melupakan yang di bawah. Tidak ada pula yang berada di bawah sekali, sehingga terlupakan oleh dunia. Kehidupan di kampung memang begitu-begitu saja, bertahan hidup dari bercocok tanam atau mengambil hasil hutan dan sungai-sungai secukupnya. Tapi kami makmur. Tidak ada yang kelaparan, pun tidak ada yang makannya berlebihan. Ya, kampung kami memang ketinggalan akan banyak hal. Tetapi Anda harus ingat, Pak. Kampung kami justru lebih bersahaja, dengan pemandangan hijau yang sejuk yang belum dijamah polusi, keramahan serta kebaikan hati para penduduknya yang diajarkan turun-temurun.

Namaku Mahmuddin. Usiaku sembilan belas tahun, dan aku sudah meyerah soal harapanku untuk menjadi pedagang besar di kota. Aku menyerah. Lantas kenapa?

***

Aku menghela napas panjang sambil melipat kembali surat terakhir milik seorang anak bernama Mahmuddin itu. Aku menyeka mataku dengan ujung almamaterku.

“Lho, Mutiara. Kau menangis ?” Icha, salah satu teman KKN-ku nampak heran melihat kedua mataku yang berkaca-kaca usai membaca surat-surat itu.

Pada hari terakhir sebelum perpulangan kami selaku mahasiswa KKN, aku membuka kotak surat yang pada minggu pertama sudah kami buat dan tempelkan di pintu depan posko. Tujuan kotak surat itu, ya tentu saja untuk memberikan kesan dan pesan atau apapun yang warga desa ingin sampaikan kepada kami.

Saat aku membuka kotak surat, sebagian besar surat berasal dari anak-anak sekolah yang telah kami ajar. Isinya ucapan terima kasih, permohonan maaf karena sering bandel, permintaan untuk datang lagi ke desa mereka, dan semacamnya. Namun, tiga surat yang kubaca barusan yang paling berbeda dan menarik perhatianku. Membuat mataku berkaca-kaca usai membacanya.

“Mut, Mutiara? Kau tidak apa-apa?” raut wajah Icha berubah cemas karena air mataku tak kunjung berhenti keluar. Saat itu, hanya kami berdua di ruang tamu. Ketiga teman perempuan lainnya masih sibuk packing untuk perpulangan besok. Sementara tiga teman laki-laki dibantu para pemuda desa sedang sibuk mendirikan tenda untuk acara ramah tamah malam nanti di lapangan desa.

“Aku tidak apa-apa, Cha,” jawabku sambil menyeka air mata. “A-aku harus pergi ke suatu tempat. Tidak apa-apa, kan, aku tinggal dulu ?”

“Eh, kau mau ke mana, Mut?”

“Aku harus pergi menemui seseorang. Tidak akan lama. Aku akan segera kembali. Minta tolong bilangin ke teman-teman, ya. Aku akan pulang sebelum dzuhur,” ucapku sambil lalu. Tak ada waktu lagi, aku bergegas menyambar sepeda motor yang terparkir di halaman depan, lantas melaju menuju ke salah satu sekolah di desa itu.

***

Sepeda motorku berhenti tepat di halaman depan bangunan tua, seperti yang diceritakan Adila dalam suratnya.

Ah, Adila. Mana mungkin aku tak mengenalnya. Dia adalah salah satu senior di jurusanku, satu almamater denganku, sebelum akhirnya ia menghilang tanpa kabar. Usianya hanya terpaut dua tahun di atasku. Aku tidak menyangka ia harus menghilang dari kampus dengan jalan yang menyedihkan seperti ini. Padahal dahulu, ia termasuk senior yang baik dan cerdas.

Waktu istirahat tiba lima menit kemudian. Anak-anak yang jumlahnya tak seberapa itu segera keluar dari kelas, disusul gurunya yang tampak terkejut melihatku. Aku menghampirinya sambil tersenyum haru, “Kak Adila ….”

***

Bus yang kami tumpangi sebentar lagi akan melaju meninggalkan kantor kacamatan. Barang dan koper-koper sudah dinaikkan. Bawaan kami menjadi dua kali lebih banyak, karena ditambah dengan karung-karung beras, singkong, dan pisang, juga kue-kue dari warga desa. Bapak kepala desa, kepala dusun, serta beberapa pemuda desa juga ikut mengatar kami hingga ke kantor kacamatan tempat bus kami menunggu. Aku terharu sekali. Pun juga teman-teman poskoku

Kami sudah duduk rapi di kursi bus masing-masing. Tangan kami tak berhenti melambai kepada para warga desa yang turut mengantar. Mataku mulai berkaca-kaca lagi.

Saat itulah, dari kaca jendela bus yang lebar itu, satu di antara kerumunan yang melambai kepada kami, berdiri di sana seorang gadis dua puluh tiga tahun dengan jilbab hitamnya yang tertiup angin kemarau. Sorot matanya menangkap kedua mataku dari balik jendela. Tangan kanannya ikut melambai sambil tersenyum.

Ah, Kak Adila. Aku tidak tahu kalau dia juga ikut mengantar. Teringat kembali kata-katanya kemarin saat aku menemuinya di sekolah.

“Kau tahu, Mutiara. Orang-orang seperti kami yang bekerja di kampung seperti ini adalah orang-orang yang menyerah pada mimpi-mimpinya. Mimpi-mimpi kami sudah berlabuh entah ke mana dan kami tidak ikut bersamanya, sebab kami tidak punya harapan. Kami tidak cocok tinggal di kota. Kami tidak punya cita-cita. Tapi kamu tidak seperti itu, Mutiara. Kamu punya banyak kesempatan di depan. Kamu punya orang-orang yang peduli pada mimpi-mimpimu. Kamu tidak mesti mengasingkan diri ke kampung terpencil dan kumuh hanya karena kamu tidak punya tempat untuk dituju. Sebab, kamu punya tujuan. Kamu akan selalu punya kesempatan. Percayalah. Jadi, apapun yang akan kamu hadapi di depan, jangan menyerah, ya. Pastikan mimpi-mimpimu berlabuh, bersamamu. Sebab generasimulah yang akan menjadi harapan kami. Generasimulah yang nanti akan menghidupkan mimpi-mimpi kami yang sudah jauh …”

Bus kami mulai melaju, namun mataku tak lepas dari sosok dari balik jendela, hingga laju bus membuat sosok itu menghilang dari pandangan. Aku menghembuskan napas panjang. Perjalanan KKN ku selama 45 hari berakhir sudah. Namun, cerita-cerita yang bergulir bersamanya akan aku kenang senantiasa.

Namaku Mutiara. Usiaku dua puluh satu tahun. Sepulang dari perjalanan ini, aku akan terus bertahan dan tidak akan menyerah pada mimpi-mimpiku. Aku tidak akan menyerah.

Takkan kubiarkan harapan membatu, sebab mimpi-mimpiku akan kubawa berlabuh. Bersamaku ….

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *