Nguri : Uri Kabudayaan Kanggo Masa Depan – Cerpen Ika Nur Hidayati

puisi mencintai diri

Nguri : Uri Kabudayaan Kanggo Masa Depan
Karya: Ika Nur Hidayati

Sang surya mulai menampakkan dirinya dengan gradasi warna kuning dan jingga. Sinarnya menghapus gelap malam dan membangkitkan semangat pagi kehidupan. Begitu pula dengan Nastiti salah satu pelajar kota gudeg Daerah Istimewa Yogyakarta. Baginya pagi adalah awal baru dengan harapan dan semangat baru. Memang sudah tidak diragukan lagi bahwa daerah istimewa ini memang gudangnya pelajar cerdas, berbudi pekerti luhur, dan berkebudayaan.

Namaku Nastiti dan aku salah satu mahasiswi perguruan tinggi yang berada di Kabupaten Sleman Yogyakarta. Dilihat dari namaku, mungkin sebagian orang pasti tahu kalau aku adalah anak asli Suku Jawa. Menurut kebudayaan jawa “Nastiti” itu artinya berhati hati dan teliti. Kata Bapak ia memberikan nama Nastiti dengan maksud agar aku menjadi orang yang berhati hati dalam bertindak dan teliti dalam berpikir. Selain itu, kehidupan di Jogja sarat akan kebudayaan, kesopanan, dan tata krama. Ya jadi, memang harus berhati – hati dalam perbuatan dan perkataan.

“Nduk ayo sarapan dulu” suara ibu yang terdengar dari arah meja makan.

“Iya bu sebentar aku selesaikan dulu beresin bukunya” kataku

“Semalem waktu rapat desa apa yang dibahas pak?” tanya Ibu pada Bapak yang telah duduk di meja makan.

“Mau mengadakan acara wayang kulit bu, buat pengetan desa ke-99” jawabnya sambil mengambil nasi di dalam bakul.

“lho memangnya kapan pak acaranya?” tanyaku penasaran dan langsung menghampiri Bapak.

“Rencananya sih minggu depan di balai desa” kata Bapak

“Kenapa memilih acara wayang kulit pak?” tanyaku lagi.

“Ya supaya melestarikan budaya asli jawa, sekarang itu banyak generasi penerus bangsa yang lupa sama budaya sendiri dan lebih memilih bergaya budaya luar” jelas Bapak

“Bener itu, jangan sampai kita lupa dengan jati diri sebagai bangsa Indonesia” tambah Ibu

Setelah sarapan bapak langsung berangkat kerja ke pabrik, memang sudah dari aku umur lima tahun bapak mulai bekerja menjadi buruh disalah satu pabrik tebu di Jogja. Aku pun juga segera bergegas menuju kampus dengan menggunakan sepeda yang dibelikan Bapak dua tahun yang lalu sebagai hadiah karena aku berhasil mendapat peringkat pertama saat ujian kenaikan kelas saat SMA. Sebenarnya aku pernah minder dengan teman lain, karena kebanyakan mereka menggunakan motor saat ke sekolah. Tapi harapan Bapak dan Ibu agar aku menjadi orang yang hebat menjadi cambuk tersendiri bagi dan memberi semangat supaya aku bisa meraih semua impian walaupun dengan adanya keterbatasan. Ada yang bilang kalau hidup itu harus berani punya impian, seperti bumi akan kering tanpa hujan begitu pula dengan hidup tidak akan lengkap tanpa adanya tujuan.

Saat sampai di kampus aku langsung memarkirkan sepedaku di tempat yang biasanya. Aku juga mengunci sepedaku supaya lebih aman. Tak lama kemudian ada suara yang memanggil namaku dari kejauhan.

“Nasti tunggu aku” teriak Santi sambal tergopoh – tergopoh menghampiriku.

“Nas, kamu udah tahu belum kalo desa kita bakalan ada acara wayang kulit?” tanya Santi yang tinggal satu desa denganku.

“Iya tadi udah dikasih tahu Bapak” kataku singkat

“Kamu bakalan lihat kan?” tanya Santi padaku

“Ya kalau nggak ada apa – apa sih lihat, sekalian belajar lebih tentang kebudayaan jawa juga” jawabku.

Setelah pembelajaran mata kuliah berakhir, aku bergegas pulang ke rumah. Sebelumnya aku harus mampir warung terlebih dahulu untuk memberi gula jawa dan beberapa bumbu dapur yang sudah dipesan Ibu tadi pagi.

“Budhe mau ambil gula jawa sama bumbu dapur pesenan Ibu.” pintaku

“lho baru pulang dari kampus to nduk?” tanya Budhe Ratmi pemilik warung

“Injih Budhe, wonten kelas tambahan” Jawabku dengan sopan.

“Oalah gitu to, jamane budhe dulu sekolah itu pulange jam 12 siang kalau sekarang jam 3 sore baru pulang” kata Budhe Ratmi heran.

“Nggih budhe soalnya mata kuliahnya juga banyak” kataku

“Nah ini pesenan Ibumu udah lengkap semua ya, semoga kuliahnya lancar dan cita – citamu tercapai ya nduk.”

“Aamiin budhe, matur nuwun doanya” jawabku sambil mengaminkan doa Budhe Ratmi.

Pedal sepeda aku kayuh sekuat tenaga, entah mengapa hari ini tubuhku terasa sangat lelah sekali tidak seperti biasanya. Mungkin cuaca beberapa hari terakhir yang kurang baik membuatku sedikit merasa kurang sehat. Biasanya jam 3 sore udara sudah mulai berubah menjadi lebih sejuk tetapi, hari ini terasa berbeda yang memaksa buih – buih keringatku keluar dan menetes tanpa henti hingga membuat bajuku basah. Setelah sampai di depan rumah aku segera memarkirkan sepedaku dan mencuci kaki terlebih dulu sebelum masuk rumah.

“Ibu ini pesenannya udah aku ambil dari warung Budhe Ratmi” kataku sambil menaruh belanjaan tersebut di atas meja makan.

“Iya nduk makasih ya, lho bajumu kok basah banget Nas?” Tanya ibu yang muncul dari belakang rumah

“Cuaca di luar masih lumayan panas bu, makanya jadi basah keringat semua” sahutku

“Ya sudah sekarang kamu mandi terus makan, udah Ibu siapin makananannya di meja makan.” perintah Ibu.

Setelah makan aku duduk di atas kursi panjang dari kayu di bawah pohon mangga yang dibuat bapak beberapa hari yang lalu. Di sana udaranya terasa lebih sejuk daripada di dalam rumah sehingga aku betah untuk berlama lama di sana sambil memandangi lingkungan sekitar yang masih sangat asri. Aku baru teringat jika desaku pernah menjuarai lomba dengan predikat Desa Hijau terbaik di kecamatan. Jadi, sejak saat itu kepala desa sangat gencar menyuarakan penghijauan di seluruh wilayah desa. Setiap rumah wajib menanam pohon minimal tiga jenis tanaman untuk mengurangi polusi udara. Beberapa kebudayaan seperti karawitan, wayang kulit, wiwitan pascapanen juga masih sering dilakukan dan dilestarikan agar dapat terus dinikmati generasi berikutnya. Tak lama terdengar suara khas motor milik bapak yang berasal dari arah selatan.

“Lagi apa nduk kok ngelamun?” tanya Bapak sembari memarkirkan motor.

“Cari udara segar aja pak, oh iya pak tadi udah disiapkan makanan sama Ibu di meja makan” sahutku

“Iya, Bapak masuk dulu.” Kata Bapak sambal melangkahkan kaki menuju ke dalam rumah.

Kata Ibu, dulu kehidupan Bapak lebih memprihatinkan daripada sekarang. Bapak hanya bisa dapat pendidikan sampai SMP lalu setelah itu Bapak terpaksa mulai bekerja mencari uang kesana kemari demi mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dulu simbah pekerjaannya sebagai petani jadi, kalau dilihat ya memang kurang mampu untuk membiayai sekolah dua anaknya sampai tinggi. Bisa makan sehari tiga kali saja merupakan keberkahan yang luar biasa. Banyak hal yang aku dapat belajar dari bapak mulai dari bersyukur dengan apa yang kita punya dan tidak mudah menyerah di dalam keadaan apapun. Kata Bapak hidup itu seperti permainan wayang, ada yang jadi tokohnya ada juga yang jadi dalang sebagai pengatur jalannya cerita.

Sama seperti pepatah jawa “Sapa nandur bakalan ngunduh.” Jadi, apapun jalannya yakin saja kalau ada kebahagiaan setelah kepedihan dan perjuangan. Selama ini bapak hanya berharap aku memiliki kehidupan yang lebih baik darinya. Apapun yang aku minta selagi bapak bisa kasih ya pasti bakal berusaha untuk diberikan. Lama kelamaan aku sadar bahwa Bapak itu punya harapan besar untuk puti semata wayangnya ini agar menjadi orang yang lebih dari dirinya. Bukan untuk menjadi orang yang sombong tapi dia sudah tau bagaimana rasanya hidup jauh dari kata cukup dan hinaan yang didapat dari banyak orang yang mungkin masih membekas di relung hatinya hingga sekarang.

Tak terasa waktu seminggu berjalan begitu cepat. Saat aku membaca novel di teras rumah ibu pun menghampiriku.

“Nduk nanti kamu ikut nonton wayang kan?” tanya Ibu yang berdiri di samping kursi.

“Iya bu ikut, kalau Bapak ikut nggak?” tanyaku

“Bapakmu itukan panitia ya jelas ikut, tapi Bapak berangkat duluan buat ikut persiapan di sana” tambah Ibu

“Oh iya ya bu, nanti mau berangkat jam berapa?” tanyaku memastikan

“Acaranya itu kan jam 9 malam, tapi kayaknya ibu kesana habis magrib soalnya mau bantu -bantu yang lain buat masak” kata Ibu menjelaskan.

“Memangnya mau dimasakin apa bu?” tanyaku penasaran

“Nasi gudeg sama jajanan pasar” jawab Ibu

“Ya sudah aku bareng sama Ibu aja” sahutku

“Kamu mau ikut masak juga?” tanya Ibu sambil senyum.

“Iya bu, sekalian belajar biar bisa masak masakan tradisional Jogja” jawabku ikut tersenyum.

Sore itu sebelum waktu magrib aku menyempatkan diri untuk berkeliling desa menggunakan sepeda menuju jalan di tengah sawah. Ketika sang senja mulai beranjak ke peraduannya, semilir angin yang berhembus menambah eloknya suasana di saat itu. Udara dingin yang mulai menusuk tubuh tak membuat mataku terpejam, aku tetap memandang indahnya sang surya tenggelam dan menghilang.

Setelah salat magrib aku dan ibu bersiap – siap menuju salah satu rumah warga desa yang dijadikan sebagai tempat memasak makanan untuk acara pengetan. Memang sudah menjadi kebiasaan jika ada acara di desa semua warga ikut berkecimpung dalam menyukseskan acara tersebut. Salah satunya urusan masak – memasak pasti selalu dikerjakan bersama dan tidak pernah memesan dari catering atau tempat makan lainnya. Hal ini dimaksudkan agar warga desa saling berinteraksi guna menjaga kerukunan antar sesama.

“Wah ada nduk Nastiti to, sini nduk” sapa Budhe Ruri pemilik rumah.

“Nggih budhe, Nastiti bantu nggih” kataku.

“Hayo jelas boleh nduk” jawab Budhe Ruri.

“Masakan Jogja itu enak semua dan beragam ya Budhe?” tanyaku sambil memasukan makanan ke kardus kotak.

“Iya nduk, itu tujuanya Budhe masak makanan tradisional Jogja diacara pengetan ini supaya semua tahu bahwa kita tidak hanya kaya akan budaya tetapi juga punya makanan khas yang beragam.” kata Budhe Ruri

Saat aku melihat bagian untuk pagelaran wayang kulit, di sana sudah disiapkan beberapa batang pisang untuk tempat menaruh wayang yang akan dimainkan oleh dalang. Di sisi sebelah kiri telah disusun seperangkat gamelan jawa yang begitu gagah perkasa dengan kombinasi warna merah dan emas. Jika dilihat lebih detail bagian samping – samping dari tempat untuk pagelaran wayang kulit dihias dengan menggunakan kain batik khas Jogja yang lagi – lagi menampilkan begitu banyaknya kebudayaan yang kita miliki dan pastinya kita harus bangga dengan itu semua.

Lima belas menit sebelum pagelaran wayang kulit dimulai kepala desa membuka acara dengan memberi sambutan dan ucapan terima kasih kepada seluruh warga desa yang telah bekerja dengan baik dalam menyelenggarakan acara pengetan desa ke-99 serta tak lupa mengucapkan syukur

alhamdulillah kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berharap acara pada malam hari ini berjalan dengan lancar.

Pukul sembilan malam tepat iringan gendhing mulai terdengar dengan merdu yang dimainkan oleh para niyaga, pertanda bahwa pagelaran wayang kulit akan segera kita saksikan. Suara merdu bersaut – sautan dari tiga sinden juga menambah meriahnya acara pengetan desa ke-99 malam itu. Suasana semakin indah saat sinar rembulan memancarkan sinarnya begitu terang seakan – akan ikut merayakan.

Setelah semua makanan dikemas para sinoman mulai membagikan kepada para tamu satu per satu. Kebudayaan wayang kulit merupakan kebudayaan yang telah lama ada di tanah jawa jadi tidak heran jika sebagian besar pecintanya adalah orang – orang yang telah lanjut usia. Aku pun ikut duduk di kursi tamu setelah ikut membagikan makanan dan minuman. Aku duduk di sebelah kanan dari Mbah Sastro, yaitu salah satu sesepuh di desaku. Ada yang bilang kalau Mbah Sastro itu rajanya wayangan, maksudnya ia pasti akan selalu hadir dan menyaksikan setiap pagelaran wayang yang ada di setiap desa. Fisiknya mungkin sudah tidak muda lagi, tapi jika sudah berhubungan tentang budaya dialah pengagum setia kebudayaan jawa.

“Jenengmu Nastiti to?” tanya Mbah Sastro saat menoleh ke arahku.

“Injih mbah, pripun kabare mbah?” sahutku sambil bersalaman.

“Apik nok, piye kuliahmu lancar to?” tanyanya lagi

“Alhamdulillah lancar mbah, pengestunipun.” jawabku dengan santun.

Mbah Sastro juga memberikan beberapa wejangan bahwa hidup itu “Ngunduh wohing pakarti” yang artinya setiap perbuatan yang kita lakukan entah buruk ataupun baik akan mendapat balasan yang sepadan dari Sang Pencipta. Jadilah anak yang “Mikul dhuwur mendhem jero” yang berarti seorang anak haruslah menjunjung setinggi mungkin derajat kedua orang tuanya dan lakukanlah setiap pekerjaan kita dengan ikhlas dan sabar “Sabar sareh mesthi bakal pikoleh”.

Seperti halnya kisah wayang yang dipertunjukan malam itu menceritakan wayang Mahabarata yang sudah dikenal seantero nusantara. Berisikan cerita para pejuang kebenaran yang ditokohkan oleh Pandhawa (Yudhistira, Werkudara, Arjuna, Nakula dan Sadewa) melawan kejahatan yang dilakonkan oleh Kurawa berupa ketidakadilan, kesengsaraan, dan kekejaman. Memang hal tersebut akan selalu ada disetiap periode kehidupan, tapi dengan adanya perjuangan yakinlah bahwa kebaikan akan selalu menjadi pemenang.

Ada kebanggaan tersendiri bagiku menjadi salah satu orang yang tinggal di Suku Jawa. Dimulai dari tata kramanya yang mengedepankan etika bukan kasta hingga kebudayaannya yang sudah dikenal oleh mencanegara. Indonesia negara yang sarat akan keberagaman dan kebudayaan, tetapi memiliki satu tujuan yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang maknanya seberapa banyak perbedaan kita adalah tetap satu Indonesia. Berbanggalah kita sebagai salah satu tiang penyangga hadirnya suatu

negara yang diberi nama Indonesia dan beryukurlah kepada Sang Maha Kuasa karena telah menempatkan kita di bagian bumi yang paling indah dan mempunyai segalanya yang ada.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *