Pesan yang Tak Pernah Sampai
Karya: Selly Veronika
Bintang yang aku sayangi…
Terimakasih untuk kenangan indah di waktu yang lalu. Terimakasih sudah selalu percaya dengan mimpi-mimpiku. Hari ini, izinkan aku pergi mengabdi ke pelosok negri untuk menjemput mimpi-mimpiku, juga untuk membangun mimpi-mimpi anak Indonesia.
Aku tidak tahu, setelah ini apakah kita akan kembali bertemu. Tapi aku akan selalu merindukanmu, Bi. Ditempat baruku nantinya, kita akan sulit berkomunikasi karena disana belum ada listrik dan jaringan internet. Ku harap kamu bisa melanjutkan hidupmu juga, ya.
Aku akan selalu mendo’akan kebaikan untukmu.
Aku segera memencet tombol kirim ke kontak Bintang. Tidak berselang lama, jaringan di ponselku hilang tiba-tiba. Aku segera tahu bahwa mobil kijang yang ku tumpangi sudah meluncur ditengah-tengah hutan Kalimantan Tengah. Dadaku terasa sesak mengingat bahwa aku belum menghubungi Bintang sejak kemarin. Aku belum benar-benar siap berpisah dengannya. Didalam mobil yang melaju cepat itu, kenangan-kenangan bersama Bintang kembali berkelebat dalam benakku. Betapa baiknya sosok lelaki itu, Ia yang selalu memperlakukanku dengan penuh kelembutan. Hubungan kami nyaris tanpa pertengkaran. Kami saling mencintai dengan dalam dan tenang.
“Aku suka melihatmu mengajar, Ra. Matamu terlihat sangat berkilau dan indah.” Ucapan Bintang kembali terngiang.
“Aku sepertinya sangat suka mendidik, Bi. Suatu hari aku ingin menjadi guru yang baik dan dicintai murid-muridku.” Bintang tersenyum sambil menatap mataku dengan lembut.
“Teruslah bahagia seperti ini ya, Ra. Aku suka kamu yang ceria seperti ini.” Kalimat-kalimat Bintang membuat jantungku berdebar.
“Bi, kalau suatu hari nanti aku akan pergi meneruskan mimpiku mendidik anak-anak pelosok, apa kamu tidak keberatan?” Ucapku pelan-pelan. Hening seketika, Bintang sedikit terkejut dengan kalimatku barusan. Lama Ia memandangi wajahku, kemudian memalingkan wajahnya ke langit-langit.
“Aku akan turut bahagia dengan mimpimu yang mulia itu, Ra. Meski aku juga akan sangat bersedih jika harus berpisah denganmu.” Ucapnya setelah menarik nafas panjang.
“Bi, aku tidak meragukan cintamu yang besar itu. Tapi, jika saat itu tiba, ku mohon kau tetap melanjutkan hidupmu juga, ya. Pergilah ketempat yang kau sukai, pelajari apa yang ingin kau pelajari, kejarlah mimpi-mimpimu, dan jika suatu hari hatimu kembali tertarik dengan seorang wanita, aku tidak akan keberatan, Bi. Aku akan senang jika kau bahagia.” Kurasakan mataku menghangat, cairan bening segera menggenanginya.
“Ra, aku akan menungumu sampai kita ditakdirkan kembali bertemu.” Bintang menatap mataku begitu dalam. Rahangnya sedikit mengeras. Aku tahu ia menyembunyikan kesedihan.
Hari yang kami takutkan itu rupanya benar-benar terjadi. Aku tahu bagaimana kecamuk hati Bintang saat ini, aku bisa merasakannya, karena demikian juga dengan keadaan hatiku saat ini. Kerinduan padanya telah begitu dalam meski kami baru berpisah beberapa jam. Meski dilain sisi, aku juga merasakan sesuatu telah membara dalam hatiku. Seperti semangat yang menggebu-gebu, sebab dalam hitungan jam, aku akan berada pada tempat dimana mimpi-mimpiku dimulai. Desa Humbang yang jauh dari peradaban dan berada ditengah hutan Kalimantan ini membuat jantungku berdebar-debar. Aku telah berada jauh, sangat jauh dari Bintang yang berada di pulau seberang.
***
Udara dingin menusuk tulang. Padahal matahari sudah terbit sejak tadi. Desa Humbang yang dikelilingi pepohonan lebat dan tinggi-tinggi ini menyuplai lebih banyak embun dipagi hari yang membuat udara tetap dingin. Kehidupan di Desa ini sudah menggeliat, terutama kehidupan di sungai. Desa ini berada di tepi Sungai yang menjadi anakan Sungai Kahayan. Meski udara sedingin ini, orang-orang tetap mandi pagi-pagi di atas lanting yang di tambatkan di pinggir sungai. Anak-anak dengan bibir membiru berlari kecil-kecil dengan setengah telanjang kembali kerumahnya. Aku juga sudah mandi sejak tadi. Beruntungnya, perumahan guru ini dilengkapi dengan kamar mandi, sehingga aku tidak perlu repot-repot mandi berbaur di sungai yang terbuka itu.
Bi, jantungku kembali berdabar-debar. Meski sudah berkenalan dengan beberapa orang desa kemaren sore, tetap saja pengalaman pertama masuk mengajar hari ini membuatku sedikit gugup. Apakah guru-guru di sekolah itu ramah? Apakah anak-anak akan menyukaiku? Apakah aku bisa mengajar dengan baik?
Pikiran-pikiran kembali berkecamuk dalam benakku, Bi. Apakah aku bisa melewati hari ini dengan baik? Ah, kuharap Kau juga bisa melewati hari ini dengan baik ya, Bi.
Aku menuliskan pesan kepada Bintang beberapa saat sebelum berangkat ke sekolah. Aku tahu pesan itu tidak akan pernah sampai kepada Bintang, apalagi bisa mendapatkan jawaban darinya. Tetapi menulis pesan seperti ini sedikit bisa membuatku tenang.
Perumahan guru ini berada tepat di belakang sekolah, sehingga aku tidak perlu repot-repot berangkat pagi-pagi. Sejak tadi, aku melihat beberapa murid memanjangkan lehernya melihat dari jendela belakang kelas. Kemudian mereka sibuk membicarakan sesuatu. Aku dibuat tertawa melihat kehebohan mereka itu. Jumlah mereka bertambah ketika aku sudah berjalan menuju kantor guru.
“Ibu baruuu” seorang murid memberanikan diri menyorakiku dengan suara keras. Aku membalasnya dengan senyuman. Mereka lalu ribut-ribut berteriak.
Kehebohan itu masih terdengar samar-samar dari ruang guru yang berada tepat disebelah ruang kelas. Beberapa murid terlihat sengaja berlalu lalang didepan kantor. Beberapa orang guru yang sudah lebih dahulu datang berdiri untuk menyalamiku. Dari ekspresinya, mereka semua terlihat sangat ramah dan bersahabat.
“Perkenalkan ini Ibu Rara, guru Matematika baru di SMP Humbang.” Kepala Sekolah juga memberikan sedikit kata sambutan dan wejangan-wejangan. Dengan itu, maka lunturlah satu kekhawatiranku.
“Kami sudah lama menunggu guru Matematika. Sebelumnya kami akan bergantian mengajar mata pelajaran ini. Sedikit bikin pusing.” Bu Dewi, guru PKN menambahkan.
“Oh ya? Luar biasa sekali, Bu. Bagaimana kemampuan matematika anak-anak disini?” Tanyaku kemudian.
“Buruk sekali. Mereka bahkan belum bisa mengali dan membagi.” Aku tercengang seketika. Bagaimana bisa murid sekolah menengah belum bisa melakukan perhitungan sederhana itu. Padahal di pulau seberang, anak-anak sudah lihai menghitung bahkan tanpa menuliskannya.
“Begitulah Bu Rara. Maka kehadiran Ibu disini sangat kami harapkan bisa mengajarkan anak-anak itu berhitung dengan baik.” Kepala sekolah ikut menimpali.
Dan benarlah perkataan guru-guru itu. Setelah percakapan yang hangat diruang guru, kami harus kembali menjalani tugas masing-masing. Dan dimulailah pembelajaran pertamaku dalam kelas. Anak-anak menatapku dengan mata berbinar-binar. Setelah bergantian perkenalan guru dan murid, pembelajaran matematika itu dimulai. Aku memulai langkah pertama dengan memberikan penilaian awal terhadap kemampuan murid, agar aku bisa mempertimbangkan apa dan bagaimana pembelajaran yang harus kulakukan selanjutnya.
Bi, Kau tahu? Ini buruk sekali.
Sebenarnya hari ini dimulai dengan sangat baik. Aku menyukai keramahan orang-orang ini. Meski beberapa murid ada saja yang mencoba menjahiliku. Tapi aku menyukai wajah polos mereka.
Namun, kenyataan bahwa kemampuan mereka jauh sekali dari yang seharusnya membuatku sedikit kesal. Lebih tepatnya kebingungan. Bagaimana aku menyelesaikan pembelajaran sesuai ketentuan yang seharusnya, jika perhitungan dasar saja mereka belum bisa?
Bi, sepertinya perjalananku ini masih sangat panjang. Andai Kau disini, Kau pasti akan memberikan kalimat-kalimat penenang itu untukku. Doakan aku ya, Bi. Aku juga akan terus mendoakanmu.
Malam beranjak, kehidupan di desa Humbang mati seketika. Hanya nyanyian alam yang terdengar. Dengan diterangi lampu minyak, aku kembali menuliskan pesan kepada Bintang. Aku tahu Ia tidak akan pernah bisa menjawabnya. Keheningan malam yang seperti ini, membuat pikiranku kembali terbang. Betapa jauh perbedaan pendidikan disini dengan pulau seberang yang selalu dikatakan lebih maju. Mengapa anak-anak itu tidak sedikit lebih maju? Apa yang selama ini mereka kerjakan disekolah dasar? Bagaimana mereka selama ini diajarkan?
Pikiran yang memenuhi kepalaku berangsur hilang seiring lenyapnya kesadaranku. Malam yang tenang, jauh dari kebisingan.
***
Waktu tidak pernah berhenti melaju. Menjadikan yang telah berlalu sebagai percikan dari kenangan yang dapat disimpan atau justru dilupakan. Kehidupan Desa yang lambat, tapi ini cukup membuatku melupakan waktu seiring dengan aktivitas mengajar yang semakin padat. Lima bulan berlalu sejak hari pertama kedatanganku, sejak hari perpisahanku dengan Bintang. Tidak banyak hal yang terjadi di Desa dengan aktivitas yang cenderung statis ini selain percobaan demi percobaan yang kulakukan untuk membuat pembelajaran yang diminati anak-anak. Terkadang aku sedikit putus asa ketika mendapati tatapan kosong mereka, atau lipatan diantara dahinya yang muncul ketika aku bertanya, atau ketidaktaan mereka terhadap aturan yang membuatku harus mengingatkan berkali-kali. Tapi diantara semua itu, tidak ada yang jauh lebih membuatku berputus asa selain seringnya ketidakhadiran mereka. Bagaimana pembelajaran itu bisa didapatkan dengan utuh jika mereka seringkali tertinggal. Dan selalu saja aku dibuat mengulang-ulang penjelasan yang sama. Sampai-sampai rasanya sangat membosankan.
Seperti misalnya saat aku menjelaskan materi tentang bilangan bulat yang plus minus itu.
“Berapa nilai minus lima ditambah dua, Arman?”
“Tujuh, Bu?”
“Tapi ini minus, Arman?” Arman hanya menggaruk-garuk kepala.
“Aku kemaren ga masuk, Bu.”
“Apa kamu tidak bertanya kepada temanmu yang lain?” Ia hanya menyengir kuda. Dan aku hanya bisa menarik nafas panjang.
“Berapa jawabannya, Vira?”
“Tujuh, Bu”
“Tapi ini ada minus,Vira. Seperti misalnya kamu berhutang lima lalu kamu bayarkan dua. Berapa yang tersisa?”
“Tiga bu”
“Bagus.Tiga itu sisa hutang atau uangmu?”
“Hutang, Bu”
“Jadi, tiga itu negatif atau positif, Vira?” Hening, Vira kembali kebingungan.
“Bagaimana Vira?”
“Positif Bu”
“Loh?”
“Eh, negatif” Lalu aku hanya akan menarik nafas panjang dan berkata dengan ketus.
“Kalau hutang itu ngaku hutang, jangan ngaku itu uang kamu!” Kelas akan diam seketika.
Bi, Bagaimana kabarmu?
Kabarku buruk lagi, hehe. Akhir-akhir ini aku sering mengabarkan hal buruk, ya. Beruntung kamu tidak pernah membacanya, jika tidak, kamu pasti akan bersedih.
Semakin bertambah semester ini, anak-anak itu semakin berulah. Mereka semakin jarang masuk, Bi. Bayangkan, saat hari hujan, aku hanya menunggu sekolah itu sendirian sampai pulang. Tak ada satupun anak yang muncul batang hidungnya. Hari-hari biasapun mereka seperti itu. Ada saja yang tidak masuk setiap harinya. Belum lagi PR yang tidak pernah mereka kerjakan. Sebenarnya, aku jarang memberi PR. Selain karena pemerintah yang baru ini melarang pemberian PR, anak-anak itu juga tidak pernah mengerjakannya. Jadi sia-sia saja.
Sebenarnya aku paham, Bi. Anak-anak ini tidak masuk sekolah karena perintah orangtuanya. Seringkali karena mereka harus ikut membantu orangtua mereka bekerja di kebun atau mencari ikan atau ikut menambang emas. Bayangkan anak-anak sekecil itu sudah harus bekerja, Bi. Sedangkan disana, pasti anak-anak sedang berlomba-lomba mengejar les-les tambahan, kan? Anak perempuannya juga begitu. Sebagian mereka juga dituntut untuk membantu orangtuanya bekerja. Sebagian lagi tidak sekolah karena harus menjaga adik-adiknya.
Aku bingung, Bi. Sebenarnya aku melihat potensi yang bagus pada beberapa anak. Tapi jangankan membuat mereka paham, membuat mereka rajin kesekolah saja sudah menjadi PR besar bagiku dan guru lainnya.
Aku harus apa ya, Bi? Untuk keadaan ekonomi ini juga sedikit rumit mencarikan solusinya. Hanya tersisa satu bulan lagi sampai semeter ini berakhir. Tapi anak-anak itu tidak memahami apapun kecuali sedikit.
Ah, aku terlalu banyak bicara,ya. Maafkan aku, Bi. Aku sungguh merindukanmu saat ini.
Malam itu aku menuliskan pesan yang cukup panjang kepada Bintang. Berupa tumpahan-tumpahan dari perasaan dan keresahanku akhir-akhir itu. Pikiran ku buntu, padahal ini baru lima bulan. Tapi aku seperti sudah kehabisan akal.
Tiba-tiba keheningan malam itu membuka kembali kenangan-kenanganku. Kenangan saat aku masih berkuliah, saat masih berstatus honor di sebuah sekolah di pulau seberang, saat masih banyak menghabiskan waktu bersama Bintang di coffe shop miliknya. Rinduku jadi semakin bertumpuk. Seperti ada ganjalan yang cukup besar dalam hatiku hingga rasanya seperti perih, dingin, dan menekan. Untuk pertama kalinya aku terisak di kampung orang. Sendirian di malam yang sunyi.
***
Bintang, kamu dimana? Mengapa pesanku hanya centang satu? Mengapa aku tidak bisa menghubungimu?
Aku sedang berada di kota saat ini untuk beberapa keperluan. Tapi tidak lama. Kalau kau melihat pesan ini, tolong hubungi aku kembali, ya.
Aku menatap layar ponsel itu dengan resah. Beberapa kali mencoba menelpon Bintang namun tidak kunjung ada jawaban. Pesan-pesan yang selama ini tidak terkirim, hari ini berubah status menjadi centang satu. Aku berharap Bintang dapat bersabar membaca satu demi satu pesanku nantinya. Tapi pesan itu hanya centang satu. Tidak pernah benar-benar sampai. Aku juga menghubunginya lewat sosial media, tapi tidak juga dia membalasnya. Ah, Bintang memang jarang sekali aktif di sosial media.
Ini sudah berada di akhir semester. Murid-murid sudah libur sejak kemaren. Oleh karena itu, aku bisa dengan mudah pergi ke kota untuk berjalan-jalan, sekalian mengurus beberapa hal. Aku sangat berharap bisa melepaskan rindu dengan Bintang hari ini dan menceritakan semuanya, juga mendengarkan semua ceritanya. Tapi hingga waktuku habis dan harus segera kembali ke Desa, Bintang tidak kunjung bisa ku hubungi. Entah apa yang terjadi dengannya.
Dengan memendam kekecewaan bercampur kekhawatiran, aku menaiki mobil kijang yang kembali membelah jalanan hutan Kalimantan Tengah. Pikiranku berkecamuk. Berbagai kekhawatiran menghantuiku. Bagaimana kabar Bintang? Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia masih sehat? Apakah dia sangat sibuk? Atau justru dia memiliki gadis pilihan yang baru? Aku menggelengkan kepala keras-keras. Tidak mungkin, Bintang sudah berjanji untuk menungguku. Meski tidak juga aku mendapatkan ide bagaimana cara kami bisa kembali bersatu.
Jalanan hutan Kalimantan yang sunyi semakin menumpuk perasaanku. Hingga genangan-genangan membanjiri kelopak mataku yang berusaha kusembunyikan agar tidak ada penumpang lain yang tahu.
***
Musim panas yang panjang kembali melanda. Membakar hutan-hutan Kalimantan yang bertanah gambut. Kabut tebal memenuhi udara, membuat langit biru tidak lagi nampak, dan membuat nafas menjadi sesak. Kini sudah hampir penghujung tahun, seharunsya musim hujan sudah turun. Tapi tidak ada tanda-tanda bahwa musim panas ini akan berakhir. Malah semakin mempertebal asap yang terpejara di langit-langit.
Hampir satu tahun berlalu. Segala hal saat ini tidak lagi baru untukku. Dan memang benar bahwa dikehidupan ini kita akan selalu dihadapkan dengan perpisahan demi perpisahan. Satu tahun belakangan, aku banyak sekali menemui perpisahan. Terutama dengan murid-muridku. Akhir semester lalu, aku cukup bahagia menyaksikan keempat murid kelas IX ku menuntaskan hari terakhirnya di Sekolah Menengah Pertama. Dengan seluruh kekurangannya yang tentu saja ada, mereka tetaplah murid yang berhasil berjuang sampai akhir dari dua belas teman-temanya yang sejak kelas VII dan VIII memutuskan berhenti satu demi satu. Ini tidak mudah bagi guru, namun juga tidak mudah bagi murid. Setiap hari, mereka pasti akan merasakan kebosanan karena harus bertemu dengan orang yang itu-itu saja. Tapi mau bagaimana lagi? Demikianlah takdir kehidupan yang harus dijalani.
Selain itu, tahun ini setidaknya ada enam murid kelas lain yang memutuskan berhenti sekolah. Alasannya rata-rata sama, murid laki-laki harus membantu orangtuanya bekerja, sedangkan murid perempuan sudah dilamar oleh seseorang hingga memutuskan segera menikah. Perikahan yang sangat dini.
Satu tahun ini mengajarkan cukup banyak untukku. Aku tahu bahwa langkah-langkah kecil milikku masih jauh dari kata selesai. Aku tidak boleh menyerah lebih awal. Suatu hari nanti, entah pada percobaan keberapa, dengan murid yang mana, dengan metode seperti apa yang akan memberikan setitik cahaya bagi pendidikan di pedalaman Kalimantan Tengah ini. Mungkin juga perkembangan zaman yang akan datang membawa perubahan-perubahan itu ke Desa Humbang. Aku tidak tahu pasti. Tapi yang terpenting dari semua itu adalah tidak pernah berheti mencoba.
Perlahan aku mulai menghadirkan kesadaran yang seutuhnya pada desa ini. Aku mulai mejadikan kehidupan disini sebagai kehidupanku yang sesungguhnya. Kehidupan yang akan aku jalani entah sampai kapan. Belakangan aku juga tahu dari temanku bahwa Bintang sudah sejak lama mengganti nomor telponnya. Sepertinya dia juga sudah memulai kehidupan baru. Sedikitnya dari yang aku tahu, Ia sedang menempuh pendidikan Magisternya di kampus ternama. Dia pasti sangat sibuk saat ini. Mungkin juga sudah bertemu dengan perempuan baru yang lebih hebat dan cerdas di kampus ternama itu. Tapi aku menghargai semua keputusannya. Bagaimapun, kehidupan memang harus dilanjutkan, dengan atau tanpa orang yang sama. Saat ini, aku sudah berhenti mengirimkan pesan kepadanya. Karena seperti sebelum-sebelumnya, pesan-pesan itu tidak akan pernah sampai.
2 Responses
Keren cerpennya 😭
Meskipun tidak mudah, tp guru seperti Rara memang bnyk terjadi dikehidupan nyata. Semoga saja semangat mereka untuk mendidik tak pernah padam.