Resolusi 2023 menjadi Cerita 2024
Karya: Aprilia Dwi Jayanti
Aku Sajiwa atau biasa dipanggil Wawa. Aku mulai melamun karena memikirkan ajakan seseorang untuk pergi ke tempat liburan tepatnya dua hari sebelum bepergian. Kala itu, suasana setelah turun hujan pada malam hari menambah kesan dalam batin yang sedang beradu argumen dengan pikiran seperti kaset rusak.
“Aku ikut atau tidak ya? nanti pasti aku akan ketemu orang-orang,” pikirku.
“tapi… jika aku tidak ikut, nanti aku akan menyesal, bagaimana?” tambah pikirku.
Ragaku memang sangat menginginkan kebebasan akhir-akhir ini seperti berlibur ke suatu tempat ketika hari libur telah tiba, namun kadang-kadang terdapat hal-hal yang membuat jiwa membuncah. Aku hanya merasa takut kala aku tidak dapat mengekspresikan apapun di hadapan orang-orang yang walaupun orang-orang tersebut termasuk keluarga.
“Aku ikut saja deh daripada nanti aku menyesal, toh, aku punya keinginan kuat untuk berubah di tahun ini seperti melawan perasaan dan pikiran yang buruk dengan pergi ke tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi walaupun tidak sendirian, tidak apa-apa diriku, aku yakin aku bisa!” ucapku dalam batin.
Aku mulai mempersiapkan kebutuhan sebelum pergi liburan seperti menyiapkan pakaian, handuk, serta kebutuhan mandi dan kecantikan. Hari yang ditunggu telah tiba tepatnya hari pertama di tahun baru dimana aku berangkat dari rumah jam 6 pagi untuk pergi liburan dan dijemput oleh sebuah mobil yang telah terisi 7 orang. Aku tidak mengetahui ke tempat seperti apa dan bagaimana yang akan dikunjungi, namun yang pasti kala itu ternyata membutuhkan waktu lama dalam perjalanan.
“Perjalanan liburan kita akan menyesuaikan google maps,” ucap seorang perempuan yang usianya 5 tahun lebih tua dariku bernama Ara.
“Aku akan membantu mengarahkan,” ucap seorang laki-laki yang usianya juga 5 tahun lebih tua dariku bernama Ansha.
“Kita lewat tol saja untuk menghindari kemacetan,” ucap seorang kakak laki-laki bernama Afni.
“Benar. Perjalanan liburan kita juga akan lebih cepat untuk pulang pergi mengingat hari ini hari pertama di awal tahun lalu, kita hanya akan menginap semalaman,” ucap seorang kakak perempuan bernama Vreya.
“Kita nanti foto-foto yang banyak dan bagus ya!” ucap seorang ibu bernama Nadin.
“Kita juga akan sarapan setelah sampai tujuan,” ucap seorang bapak bernama Radin.
“aa aaa aaaa,” suara teriakan cukup nyaring dari seorang anak perempuan berusia sekitar 4 tahun bernama Niya.
Beberapa jam setelah keberangkatan, akhirnya kami sampai ke sebuah wisata liburan bernama bukit Nirwa. Kami mencari tempat yang cocok untuk diberi alas agar kami pun dapat duduk dan sarapan terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan kembali.
Bukit Nirwa ternyata telah terkenal di media sosial hanya saja kami memang pertama kali berada di sana. Bukit Nirwa yang terdapat luasnya kebun teh membuat kesan pemandangan semakin luar biasa, namun perjalanan ke bukit tersebut harus ditempuh dengan berjalan kaki jika tidak ingin menambah biaya sewa suatu kendaraan dan melalui jalan tanah bebatuan menanjak. Aku, kak Ara, kak Ansha, dan Rion yang melakukan perjalanan itu dengan berjalan kaki, sedangkan kak Vreya dan kak Afni hanya melakukan setengah perjalanan mengingat mereka juga membawa Niya dalam gendongan agar tidak rewel.
“Huh hah huh! ternyata begini rasanya menanjak yang sudah seperti mendaki gunung.” ucap Ara dengan napas yang terengah-engah.
“Hah hah! bisa-bisa aku jadi kurus melakukan perjalanan ini,” ucap Ansha.
“Kau ini tidak capek kah?” ucap kak Ara kepadaku.
“Tidak, aku ini termasuk anak lapangan dalam jurusan kuliahku, jadi kalau aku menemukan jalanan seperti ini tidak terkejut sih, hehe!” kekehanku dengan nada sedikit angkuh.
“Ternyata dia udah tau medan jalan, eh, tapi, bukankah kak Afni juga pernah mendaki, tapi dia kok tidak ikut?” ucap kak Ara kepada kak Ansha.
“Iya benar, tapi kau lupa kah!? Kak Afni bersama Kak Vreya sudah ada Niya, jadi, mereka tidak ikut dulu dalam hal ini!” ucap kak Ansha sedikit kesal dengan pertanyaan kak Ara.
“Oh iya, hehe,” ucap kak Ara dengan cengiran.
Kami pun telah sampai ke bukit Nirwa setelah beberapa jam menempuh perjalanan dengan terengah-engah. Pemandangan setelah di atas bukit memang sangat menakjubkan ditambah dengan langit yang sedikit mendung juga angin berhembus pelan menjadikan pemandangan dua kali lipat lebih indah dan sejuk. Kami juga mengambil beberapa dokumentasi untuk menambah kenang-kenangan. Aku yang kala itu menjadi diam sambil merasakan suasana sejuk di bukit Nirwa pun mulai berpikir dan berkata-kata dalam batin.
“Hah! Ternyata begini rasanya ke tempat belum pernah dikunjungi! Sangat Indah dan Menarik, Masya Allah!” batinku.
“Rion, Wawa, ayo kita foto bareng!” ajak kak Ara.
“Malas kak, kalian saja deh!” ucapku.
“Ayo dong! Kita cuma sekali loh berkunjung ke tempat ini, gak mau gitu punya dokumentasi diri sendiri?” ucap kak Ara dengan tatapan memohon dan sedikit memaksa.
“Ya udah iya, tapi sekali aja,” ucapku dengan malas-malasan.
Kami memutuskan untuk kembali ke tempat dimana kak Afni, kak Vreya, mama Nadin, papa Radin, dan Niya berada setelah puas menikmati pemandangan yang luar biasa dari bukit Nirwa. Kami pun langsung membereskan barang bawaan dan melanjutkan perjalanan kembali ke salah satu tempat liburan yang lain.
Kami mulai masuk ke tempat liburan dan membayar tiket setelah beberapa jam menempuh perjalanan cukup jauh. Kami sangat terkejut ketika melihat bahwa tempat liburan kami yang satu ini sangat ramai pengunjung hingga nampak para pengunjung berjalan sambil berdesak-desakan. Tempat yang kali ini kami tuju adalah Wisata Air Moring. Singkat saja, lagi dan lagi hanya aku, kak Ara, kak Ansha, dan Rion yang memutuskan untuk bermain seluncuran di aliran sungai menggunakan ban karet yang cukup muat untuk satu orang. Rion yang awalnya tidak ingin ikut malah sekalinya ikut dia menjadi ketagihan untuk bermain, terbukti, kami telah bermain tiga kali, sedangkan Rion bermain dua kali. Wisata air yang benar-benar menyenangkan.
Aku memiliki banyak keinginan di tahun 2023, namun bagiku dua di antara banyaknya keinginanku telah terwujud semuanya di awal tahun 2024. Aku ingin pergi ke wisata air terjun, namun digantikan dengan aku yang dapat berkunjung ke wisata air Moring dimana wisata tersebut memang terdapat aliran air yang terjun bebas di antara bebatuan meski pengunjung kala itu benar-benar membludak hingga menutup keindahan sesungguhnya dari aliran air tersebut. Aku juga sempat berkeinginan untuk mendaki gunung agar aku mengetahui bagaimana rasanya mendaki, namun lagi-lagi digantikan dengan nuansa berjalan kaki di jalan menanjak bukit Nirwa. Keinginan sederhanaku terwujud karena aku menerima tawaran dari kak Ara. Aku tidak tahu bagaimana jadinya kala itu jika aku menolak ajakan kak Ara sebagai kakak kandungku hanya karena ketakutanku yang tidak dapat mengekspresikan apapun di hadapan keluarga dari suami kak Ara yaitu kak Ansha.
Aku dedikasikan cerita ini sebagai hadiah untuk keberhasilanku dalam melawan rasa takut dan malu yang berlebihan. Samaran-samaran baik dari nama maupun tempat sudah tentu aku gunakan dalam cerita ini karena aku tahu setiap orang juga ingin menjagaprivasinya. Terima kasih banyak diriku, semoga aku bisa terus melawan sisi-sisi buruk dalam diriku.