Sebilah Cahaya Sang Sepatu Tua

Sebilah Cahaya Sang Sepatu Tua

Senyumannya tenggelam di akhir kata yang diucapkannya. Pak Ratno menghela napas panjang. Kedua matanya sayup-sayup menahan air mata. Betapa bangga dan harunya ia menyaksikan satu per satu muridnya yang berhasil memasuki gerbang utama menuju mimpi mereka.

Jauh dari ingar bingar kehidupan kota tak menyurutkan semangat Pak Ratno untuk terus mengabdi pada negeri. Umurnya kini sudah menjelang lima puluh enam tahun dan rambut hitamnya nyaris samar terlihat. Mereka mulai tergantikan oleh rambut putih yang mengkilau. Dunia luar mungkin sudah disibukkan dengan perkembangan teknologi beraneka rupa. Namun, hal itu berbanding terbalik dengan dunia yang ada di desa Pak Ratno yang sedikit tertinggal dengan yang lainnya.

Tiga puluh tahun sudah Pak Ratno mengayuh sepeda untuk sampai di sekolah dan menjalankan niat mulianya mengajar di sekolah menengah atas satu atap yang ada di kecamatan sebelah. Maklum, statusnya yang hingga sekarang masih honorer belum mampu untuk memenuhi kebutuhan tersiernya seperti membeli sepeda motor. Meski usia Pak Ratno hampir menyentuh angka 60, tapi badan kurusnya masih sehat bugar. Sepasang sepatu tuanya seakan enggan mengeluh kala melihat perjuangan sang pemiliknya.

Apapun kondisi yang sedang dialami, Pak Ratno selalu mencoba untuk meluaskan ikhlasnya. Ia memang bukan guru biasa. Hatinya seakan terbuat dari serpihan puing surga. Pun kesabaran yang dimilikinya seluas samudera. Tak heran jika ia selalu dikelilingi oleh orang-orang baik.

Rumah Pak Ratno terletak tepat di kaki gunung. Ia harus menempuh jarak kurang lebih 3 kilometer untuk sampai di sekolah. Tas di punggung sepedanya selalu penuh dengan sayur-mayur hasil berkebun bersama sang istri, Bu Ratno. Upah mengajar yang jauh dari standart membuat Pak Ratno dan istrinya harus pintar memutar otak. Untuk memenuhi kebutuhan rumah, Pak Ratno sedikit banyak bergantung dari hasil kebun yang hanya dua petak di sebelah rumahnya. Setiap pagi sebelum sampai di sekolah, ia selalu mampir sebentar ke para bakul langganan yang menerima hasil kebunnya.  Berapapun hasil yang diterima, Pak Ratno selalu mensyukurinya. Tak jarang pula ia barter hasil kebunnya dengan kebutuhan rumah.

Selepas subuh, Pak Ratno selalu berkejaran dengan matahari untuk sampai di pasar karena ia tak mau sampai terlambat ke sekolah. Namun, kadangkala ia harus bersahabat dengan cuaca yang tak dapat diprediksi. kala musim hujan tiba, Pak Ratno harus menggali sabarnya lebih dalam lagi. Mulutnya tak henti berkomat-kamit membaca doa selamat ketika jalanan licin akibat guyuran hujan memelankan laju sepedanya.

Setiap hari ketika fajar mulai merangkak, Pak Ratno pergi ke ujung pasar tempat di mana Janitra  menantinya. Janitra adalah salah satu muridnya yang sekarang duduk di bangku kelas 12 SMA. Laki-laki berperawakkan tinggi kurus, berkulit putih, dan bermata sipit. Dalam tubuh Janitra memang mengalir darah chinese dari orang tuanya.

Dua bulan yang lalu, hati Pak Ratno rasanya kalut. Betapa tidak, Janitra hampir saja memutuskan untuk tidak lanjut sekolah di tengah ujian kelulusan akan digelar. Faktor ekonomi keluarganya yang berada di bawah dan kesehatan kedua orang tua Janitra yang mulai menurun, membuat pikirannya seolah mendadak berhenti untuk berpikir jernih. Kedua orang tua Janitra adalah buruh di kebun dan itulah satu-satunya mata pencaharian yang mereka gantungkan.

Pak Ratno terhitung hampir puluhan kali mendatangi rumah Janitra untuk membujuknya agar menyelesaikan sekolahnya yang tinggal hitungan bulan.

Le, sekolahmu hanya tinggal beberapa bulan lagi. sayang kalau tidak kamu tamatkan,” ucap Pak Ratno lirih.

“Maaf, Pak. Tapi…”

Kata-kata yang berlalu lalang di kepala Janitra tak mampu membantunya menimpali pernyataan Pak Ratno.

“Bapak akan membantumu,” timpal Pak Ratno cepat.

“Saya ndak mau menambah beban Pak Ratno. Bapak sudah terlalu banyak berkorban untuk saya dan teman-teman yang lainnya.

Kunjungan terakhir Pak Ratno ke rumah Janitra seolah nihil. Pak Ratno tidak ada pilihan lain selain mendoakan semoga diberi petunjuk atas masalah yang dihadapi muridnya. Memang benar, doa baik yang dilangitkan oleh hamba-Nya tak akan pernah kembali dengan tangan kosong. Dan semesta punya cara sendiri untuk mengirim takdirnya, yang tidak bisa ditakar oleh logika siapa pun. Doa-doa mereka seakan bersatu di tengah badai.

Tak ada musim yang tak berganti. Pun setiap kesulitan pasti akan ada kemudahan.

Pemilik kebun tempat orang tua Janitra bekerja tiba-tiba mendatangi rumah Janitra. Pak Haryo langsung datang dari kota menjenguk kedua orang tuanya. Kedua orang tua Janitra memang sudah lama ikut bekerja mengurus kebun Pak Haryo. Pak Haryo kaget ketika melihat Janitra ada di rumah saat hari efektif sekolah. Janitra berterus terang kalau ia tak punya pilihan lain selain merawat orang tuanya dan berhenti sekolah. Air mata Pak Haryo tak kuasa dibendung dan ia menerobos celah-celah pembicaraan mereka. Pak Haryo merasa kedua orang tua Janitra telah banyak berjasa membantunya merawat kebun. Tak adil rasanya kalau ia harus menyaksikan anak semata wayang pegawai tulusnya harus berhenti sekolah. Pak Haryo memutuskan untuk membiayai sekolah Janitra hingga tamat dan menopang biaya pengobatan kedua orang tuanya.

Pak Ratno menyambut dengan tangan terbuka dan hati yang penuh saat Janitra membawa kabar baik itu kepadanya.

“Lanjutkan mimpimu, Le! Bapak percaya, kamu dan teman-teman yang lain mampu menembusnya,” Pak Ratno Kembali menguatkan Janitra.

“Rasanya, kata terima kasih tak akan pernah cukup saya sampaikan kepada Bapak yang selama ini sudah banyak membantu kami. Jasa Bapak akan kami kenang di hati.

Kalimat terakhir Janitra diikuti oleh pelukan hangat. Suasana menjadi hangat. Tawa renyah bergema di ruang kelas yang lebarnya tak seberapa.

Pengumuman kelulusan pun akhirnya tiba. Kelima murid Pak Ratno dinyatakan lulus dengan hasil yang terbilang memuaskan. Perjuangan mereka selama belajar tiga tahun dengan tekun dan sungguh-sungguh akhirnya terjawab. Kabar bahagia Pak Ratno terus berdatangan, ia mendapat kabar bahwa kelima muridnya diterima untuk melanjutkan kuliah melalui jalur beasiswa. Pak Haryo adalah salah satu orang yang membantu Pak Ratno untuk mewujudkan mimpi murid-muridnya.

“Melangkahlah! Jadilah terang di manapun kaki kalian berpijak!”

Akhir kalimat yang Pak Ratno ucapkan sebelum murid-murid Pak Ratno bergegas menuju gerbang mimpi selanjutnya.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *