Tujuh Belas Telur
Karya: Hening Jati Melani
Hujan turun di penghujung tahun. Rintiknya perlahan jatuh satu demi satu menebarkan dingin basah. Di bawah naungan atap halte bus kota aku berlindung, duduk bersandingan dengan macamnya aroma tubuh. Di hadapanku mobil-mobil saling berlomba menerobos hujan.
“Andai saja aku punya mobil, pastilah aku tidak perlu menunggu,” Gumamku lirih sembari membenahi tali tas yang jatuh dari pundakku.
Tak lama sebuah bus berwarna merah terlihat dari arah kanan. Semua orang yang berada di halte bangkit begitupun dengan diriku. Aku mengambil posisi siaga, bersiap kalau-kalau bus itu setengah penuh maka aku sudah siap untuk berebut tempat duduk. Bus itu berhenti tepat di depan halte dan benar saja dari luar hanya terlihat tiga kursi kosong. Sebagian orang yang berada di halte mau tak mau harus berdiri karena tidak mendapatkan kursi atau bahkan menerima kemungkinan terburuk karena tidak mendapatkan ruang dan harus menunggu bus berikutnya. Aku mulai melangkah mendahului yang lain dan berhasil menjadi orang kedua yang memasuki bus itu. Cepat-cepat aku menduduki kursi yang tersisa kemudian meletakkan tas berbahan kanvas yang sudah memudar warnanya di pangkuanku. Aku menghela napas lega setelah membayar empat ribu rupiah kepada petugas bus. Lantas kusandarkan bahuku, meredam lelah selepas bekerja.
Bus melaju dengan kecepatan sedang. Menerobos hujan dan meninggalkan semua yang tertinggal di belakang. Perjalanan dari halte pemberangkatanku ke rumah sekitar tiga puluh menit. Waktu yang cukup untuk kugunakan membaca buku. Tapi tidak, kali ini aku sedang malas dan hanya ingin menikmati perjalanan sembari memandangi hujan di luar sana. Tak lama, bus kemudian berhenti di halte berikutnya.
“Bus sudah penuh masih saja menerima penumpang,” Batinku.
Pintu bus terbuka. Terlihat seorang pria paruh baya memasuki bus dan meraih satu-satunya handle grip di dekat pintu yang tersisa. Bus kembali melaju. Aku terdiam sejenak lantas bangkit dari dudukku menghampiri seseorang yang baru saja masuk.
“Silakan duduk di tempat duduk saya Pak,” Tawarku dengan senyuman.
Tanpa sepatah katapun, pria itu langsung pergi meninggalkanku dan menuju tempat duduk yang kutawarkan. Senyumku perlahan memudar. Aku meraih handle grip dengan perasaan kesal.
“Bukannya berterima kasih malah langsung pergi begitu saja. Minimal senyum lah. Aku kan jadi harus berdiri cukup lama.” Batinku kesal.
Setelah sepuluh menit aku berdiri, akhirnya sebagian orang turun dan meninggalkan bus dalam kondisi setengah kosong. Aku sengaja duduk di ujung barisan kursi bus kota karena ingin meletakkan tasku yang lumayan berat di kursi yang lain. Aku mengedarkan pandanganku ke setiap sudut bus dan menangkap pria paruh baya itu masih setia duduk di kursiku sebelumnya. Aku tak peduli dan kembali memandangi jalanan kota lewat kaca depan bus. Hujan mulai mereda. Menyisakkan rintik lembut dan bau lembab jalanan. Beberapa saat aku mengecek ponselku, terdapat beberapa pesan dari rekan kerjaku yang belum kubaca. Aku menutup ponselku. Membiarkan pesan itu mengambang tanpa tahu isinya, akan aku baca nanti setibanya di rumah.
“Dua menit lagi Halte Tarakan,” Ucap petugas bus.
“Turun Pak.” Aku mengangkat tangan.
Petugas bus mengangguk. Aku memasukkan ponselku ke dalam tas dan merapikan rambutku yang sedikit berantakan.
“Bapak turun di mana?” Tanya petugas bus pada pria paruh baya.
Pria itu mendongak dan sedikit membuka mulutnya. Raut wajahnya terlihat bingung.
“Halle mannalla,” Ucap pria itu kesulitan.
Petugas bus bertanya sekali lagi, “Turun mana Pak? Halte Mandala?”
Pria itu mengangguk.
“Halte Mandala setelah Halte Tarakan. Bapak duduk saja dulu nanti saya ingatkan lagi.”
Aku menelan ludah dan bergumam, “Astaga pria itu memiliki gangguan bicara. Aku memikirkan hal yang tidak-tidak padanya lima belas menit yang lalu.”
Bus berhenti. Ini adalah pemberhentian terakhirku. Aku melangkahkan kakiku dan keluar dari bus itu. Pintu bus kembali tertutup, menyisakkan beberapa orang dan seorang pria paruh baya yang duduk tepat di depan pintu. Mata kami bertemu. Dalam sepersekian detik itu muncul segumpal perasaan bersalah. Bus melaju meninggalkan diriku yang mematung di belakang.
Drrtt… Drrtt…
Ponselku bergetar dan berhasil menyadarkanku dari lamunan. Segera kuraih ponsel dari dalam tas. Terlihat sebuah pesan dari bapak.
Jangan lupa belikan obat buat bapak. Demikian bunyi pesan dari bapak.
Aku berdecak. Bagaimana mungkin aku bisa melupakannya? Tanpa pikir panjang aku langsung berlari menuju apotek di sekitar halte. Jaraknya tidak terlalu dekat, tapi untunglah masih bisa dijangkau dengan berjalan kaki. Setibanya di apotek, aku langsung memberitahu nama obat kepada apoteker yang bertugas. Aku mengeluarkan tiga lembar uang pecahan sepuluh ribu dan selembar uang lima ribu. Apoteker meraih uang itu dan memberikan kembalian berupa selembar uang dua ribu. Aku segera berbalik meninggalkan apotek itu.
Diperjalanan pulang aku hampir kehilangan keseimbangan karena sepatuku rusak. Rupanya sol sepatuku jebol. Setelah tiga tahun sejak aku membeli sepatu ini, akhirnya sepatu inipun menyerah. Ia tak mau lagi berjalan bersamaku mengarungi terjalnya kehidupan
“Ah sial! Kenapa sekarang sih? Kenapa tidak besok saja setelah pertemuan. Kalau begini besok aku harus bekerja dengan apa?” Gerutuku kesal.
Aku melepas kedua sepatu dan menelanjangi kakiku. Disisa perjalanan pulang, kaki ini berjalan tanpa alas sedikipun. Kulangkahkan kaki perlahan tanpa mempedulikan dingin mulai merambat ke tubuh. Langkah demi langkah tercipta, mengantarkanku pada sebuah gang. Aku memasuki gang kecil itu. Melewati hiruk pikuk kehidupan yang ada. Sesekali aku tersenyum kepada siapa saja yang kutemui. Langkahku terhenti di sebuah rumah dengan dinding yang sebagian catnya mulai mengelupas. Aku melepaskan genggaman sepatu dari tangan kananku dan meletakannya di samping rumah. Meskipun terlihat sepi, ketika masuk aku langsung disambut oleh bapak yang duduk di kursi ruang tamu.
“Ini pak obatnya.” Aku mengulurkan plastik kresek berisi obat.
Setelah memastikan bapak telah menerimanya, aku langsung masuk ke dalam untuk membersihkan diri. Perlu waktu delapan menit untuk aku keluar dari kamar mandi. Ketika aku keluar bapak sudah berpindah duduk menonton televisi. Aku tak peduli dan langsung memasuki kamarku. Kurebahkan tubuh yang sedari tadi menahan penat. Menenggelamkan wajahku dalam timbunan bantal. Aku memejamkan mataku beberapa saat sebelum teringat pesan yang belum kubaca dari rekan kerjaku. Segera aku bangkit dan meraih ponselku.
Anna aku minta maaf.
Aku membaca pesan pertama dari rekan kerjaku dengan perasaan bingung.
Tadi tidak lama setelah kamu pulang Pak Bos mencarimu.
Dia menyuruhmu untuk tidak perlu menemui Manajer Andrea dari perusahaan besar itu.
Dan untuk promosi jabatanmu, katanya akan dipikirkan lagi nanti.
Aku terdiam, membiarkan kursor di ponselku terus berkedip. Bahkan ketika layar ponselku mati, aku tak kunjung menuliskan sebuah balasan. Rasanya seperti sebuah kerikil kecil yang tajam masuk ke dalam mataku. Kerikil itu tidak terlihat namun sangat terasa sakitnya.
“Halo Rin?” Sapaku pada Ririn di seberang sana
“Halo Na, gimana?”
“Itu benar pesan yang kamu kirim? Apa alasannya Rin, kenapa tiba-tiba?”
“Iya Na benar. Jujur awalnya aku kesal karena Pak Bos bilang dia ingin Gita menggantikanmu bertemu dengan manajer itu. Kamu tahu Gita kan? Anak dari sahabatnya Pak Bos.”
Aku terkejut, “Loh bukannya Gita baru bekerja satu bulan ya?”
“Iya memang. Tapi mau gimana lagi Na, jalur orang dalam memang sehebat itu. Kita yang sudah tahunan bekerja di bawah tekanan nggak diangkat juga jabatannya. Sedangkan dia? Baru sebulan aja udah mau dipromosiin jabatannya.”
Setelah beberapa saat, aku menutup telepon itu. Aku mendongak. Terlihat atap kamarku dipenuhi dengan sarang laba-laba yang menghitam karena debu. Tanpa disadari mataku mulai berair. Tetes demi tetes air keluar dari mataku. Kini mereka tak sanggup untuk kubendung lagi. Aku merebahkan diri di kasur dan meraih sebuah bantal untuk menutupi wajahku. Aku menekan bantal itu keras-keras supaya tangisku tak terdengar dari luar kamar. Kali ini aku membiarkan diriku menangis. Semuanya terasa sangat sakit dan tidak adil. Ketika dunia tidak memberikanku kesempatan untuk kuliah setelah aku lulus SMK, aku mulai bekerja. Aku mendaftarkan diri di sebuah perusahaan pengiriman barang dan berhasil masuk dibagian call center. Setelah hampir tiga tahun aku bekerja, aku dinobatkan sebagai karyawan teladan karena keuletanku dalam bekerja. Aku bahkan disandingkan dengan karyawan lain dengan latar belakang sarjana. Hingga suatu hari aku mendapat tawaran dari kepala manajer untuk menemaninya bertemu manajer perusahaan besar lainnya supaya aku bisa ikut belajar. Tak hanya itu, setelahnya ia juga memberikan janji untuk memindahkanku dibagian administrasi sesuai dengan keahlianku dibidang akuntansi. Namun, kini semua bayangan itu hilang. Sebuah kabar yang dibawa oleh rekan kerjaku sendiri berhasil menghancurkan hatiku.
Pukul 21.35 WIB, aku membuka mataku. Tanganku meraih sebuah cermin kecil di atas ranjang. Dalam posisi duduk, aku menatap sebuah mata yang membengkak dengan tatapan putus asa. Hening. Di luar Bapak pasti sudah tidur karena tidak ada lagi suara televisi yang menyala. Aku menyeret kakiku dan menapakkannya di atas lantai. Perlahan aku melangkah meraih gagang pintu dan membukanya. Aku bergegas menuju toilet dengan hati-hati supaya tidak menimbulkan kegaduhan. Setelah selesai mencuci muka, aku kembali ke kamarku. Tapi ketika hendak memasuki kamar, aku melihat pintu depan masih terbuka. Segera aku menutup pintu itu. Setelah pintu tertutup aku berbalik. Aku terkejut setengah mati. Terlihat Bapak tengah duduk sembari mengisap rokoknya. Mata kami bertemu dan jelas aku tidak lagi bisa menghindarinya. Aku menghampirinya dan duduk di sebelahnya. Sesaat hening tak ada obrolan.
“Sudah makan Nduk?” Tanya Bapak memecah keheningan.
Aku mengangguk dan dibalas anggukkan dua kali dari Bapak.
“Ada masalah apa Nduk?”
Ya Tuhan rasanya aku ingin menangis lagi. Bapak adalah tipikal ayah yang keras. Hubungan kami tidak begitu dekat, terlebih setelah ibu tiada. Tapi malam ini rasanya amat berbeda. Bagaimana mungkin ia bertanya begitu padaku.
“Tidak apa-apa Pak, hanya saja tadi sore sepatuku jebol. Aku jadi bingung harus mengenakkan apa besok.” Aku menjawab asal
“Nduk, kamu tahu tidak caranya membagi 17 telur kepada seorang ibu, kakak, dan adik secara adil dengan syarat telur itu dalam kondisi utuh tanpa retak sedikitpun?”
Aku menatap Bapak bingung.
Bapak melanjutkan ucapannya, “Setengahnya dibagikan kepada ibu, sepertiga dibagi untuk kakak, dan terakhir sepersembilannya dibagikan untuk adik. Kamu tahu jawabannya?”
Aku mengernyitkan dahi, “Loh memangnya 17 telur bisa dibagi setengah tanpa pecah sedikitpun?”
“Tidak bisa.”
Aku menatap Bapak bingung. Ini cukup membuatku kesal tapi juga membuatku tertarik untuk memecahkannya.
“Kamu punya teman bukan? Pinjam saja dulu satu telur pada temanmu,” Bapak diam menatapku. “Jika kamu dimintai untuk meminjamkan sebuah telur, apa yang akan kamu lakukan?”
“Akan aku pinjami, atau bahkan kuberikan saja padanya.”
“Anggap saja kamu mendapat pinjaman itu. Kini kamu punya 18 telur bukan? Setengah dari 18 adalah 9. Lalu sepertiga dari 18 adalah 6—”
“Dan sepersembilan dari 18 adalah 2.” Aku memotong ucapan Bapak karena tidak sabar.
Bapak tersenyum mengangguk.
“Maksudnya apa sih Pak? Bapak bilang harus adil?”
“Memang siapa yang bilang itu tidak adil?”
Aku menatap Bapak kesal.
“Nduk kita sebagai manusia harus mau berbagi pada siapa saja yang membutuhkan. Ketika kesulitanpun jangan ragu untuk meminta tolong pada orang lain.
“Tapi bagaimana jika hidup tetap tidak adil?”
“Definisi adil yang sesungguhnya itu seperti apa sih Nduk? Apakah jumlah telur yang dibagikan harus sama rata tanpa melihat kebutuhan setiap orangnya?”
“Tidak juga sih Pak.”
“Bapak pikir 9 telur untuk ibu, 6 telur untuk kakak, dan 2 telur untuk adik sudah cukup adil melihat kapasitas masing-masing individu.”
“Lalu bagaimana mengembalikan telur yang dipinjam?”
“Kembalikan saja. Total dari telur yang dibagikan kan 17, sisanya kembalikan saja lagi. Dan jangan lupa untuk berterima kasih.”
Aku mengangguk, mulai mengerti inti dari cerita Bapak.
“Pak, Anna tidak jadi dipindah ke bagian administrasi. Ada seseorang yang menggantikan Anna hanya karena dia anak dari teman bos Anna,” Tuturku sembari menundukkan kepala.
Aku merasakan tangan Bapak mengusap lembut kepalaku.
“Tidak apa Nduk. Mungkin saja memang dia lebih membutuhkan jabatan itu. Bapak yakin kamu adalah perempuan hebat yang kuat dan mampu melewati ini dengan baik.”
“Tapi Pak bukankah ini tidak adil? Aku lebih membutuhkan jabatan itu dibanding dia yang berasal dari keluarga yang mampu.”
“Itu yang terlihat dari luar. Kita tidak tahu sebenarnya bagaimana kan? Apakah dia punya ayah yang hebat seperti Bapak?” Bapak meringis.
“Ah Bapak. Tapi tetap saja ini terasa tidak adil.”
“Adil itu relatif. Sudahlah Nduk tidur saja, besok Bapak harus lembur karena ada banyak pesanan celana.”
Bapak bangkit dari duduknya dan meletakan sebuah jarum sol. Aku ikut berdiri dan berjalan menuju kamarku. Kembali kurebahkan diri ini dengan perasaan yang sedikit membaik. Cerita dari Bapak menciptakan sebuah ruang ingatan tersendiri. Ingatan yang selamanya akan kubawa. Aku mulai memejamkan mata, membiarkan ragaku beristirahat. Malam ini aku ingin menyelami dunia mimpi yang indah. Melupakan segala rasa sakit yang hadir sejak pagi tadi. Segala perasaan salahku, aku berharap semesta memaafkannya.
Waktu terus berjalan seakan tak memiliki rasa lelah. Ritmenya semakin cepat dan banyak meninggalkan cerita disetiap kisahnya. Mengubah cahaya bulan menjadi hangatnya sinar mentari. Tunas kini telah menjadi pohon. Setelah banyaknya angin mencoba robohkan, ia mampu tumbuh dengan kokoh bersama buahnya. Aku berdiri di sebuah rumah kecil dengan dinding yang baru saja kering catnya. Kakiku menciptakan langkah di sekitar halaman. Kulihat seorang ibu dengan kedua balitanya melewati rumah itu, aku tersenyum dan menyapanya. Tidak ada balasan, ibu itu berlalu begitu saja.
Aku menghela napas dan kembali tersenyum, “Betapa menyenangkan dan repotnya memiliki balita. Aku salut pada ibu itu karena gigih menjaga kedua balita yang begitu aktif.”
Aku berbalik melangkahkan kakiku ke arah samping rumah. Ada banyak sekali perabotan yang sudah rusak. Mataku tertuju pada sebuah kursi reyot milik Bapak yang kini dipenuhi debu. Aku mengambilnya dan kuletakkan di dekat dinding rumah. Tak disangka mataku kembali menemukan harta karun, sebuah sepatu. Aku ingat betul itu adalah sepatu yang 13 tahun lalu aku gunakan untuk bekerja. Tanpa sadar setetes air mata jatuh tepat ketika aku mengetahui bahwa sepatu yang dulu jebol ternyata sudah dijahit oleh seseorang. Aku menghela napas dalam-dalam menahan isak. Tanganku meraih sepatu itu, jahitannya rapi.
“Bun ayo pulang,” Rengek seorang anak laki-laki berusia 7 tahun.
Aku segera meletakkan sepatu itu dan mengusap mataku, “Eh iya ayo kita pulang. Di mana Ayah?”
Anak itu menarik tanganku dan membawaku ke halaman depan. Aku melihat seorang laki-laki dengan kaos putih dan sarung coklat sedang memeriksa jendela depan rumah. Ia berbalik dan menghampiri kami.
“Bun apa rumah ini tidak dijual saja? Di depan gang ada proyek besar pasti tanah di sekitar sini akan mahal jika dijual.”
Aku menatap kesal mata suamiku. Ia hanya tertawa.
“Baiklah Bun tidak lagi. Ayo kita pulang.”
Kami berjalan beriringan menuju sebuah mobil berwarna silver yang terparkir di pinggir jalan. Anak laki-lakiku sudah lebih dulu menerobos duduk di depan, di samping Ayahnya. Aku lantas mengalah dan duduk di jok penumpang. Mobil itu melaju jauh meninggalkan rumah dan keluar dari gang, berjalan ke arah utara. Sinar senja menyirami jalanan yang lengang. Aku memperhatikkan matahari yang juga hendak pulang dan menyembunyikan dirinya. Setelah perbincanganku dengan Bapak kala itu, aku kembali melanjutkan hidup dengan pribadi yang baru. Benar kata Bapak, adil itu relatif. Adil bukan berarti sama rata. Dan ketika kita dalam kesulitan, tidak ada salahnya untuk meminta tolong. Sekuat apapun diriku, tidak ada salahnya untuk menangis sejenak dan beristirahat. Pandanganku terhadap orang lain juga berubah. Aku sadar bahwa ada banyak sekali sudut pandang di dunia ini yang tidak aku ketahui dan memang tidak semua hal harus aku ketahui. Maka setiap hari aku berusaha untuk hidup berdampingan dengan segala ketidaktahuanku tentang dunia dan isinya.