Suara yang Terasing
Karya: Naya Oktaviani
Suara-suara itu menjalar melewati tembok sebagai penyalur nya, hardikan demi hardikan yang keluar dari mulut orang yang lebih tua dari ku itu, tidak memikirkan telinga lain yang mencoba untuk tetap sunyi. Sayangnya, dunia yang aku tinggali tidak mengenal kata mendengarkan. Ini aku, seorang anak perempuan yang tidak pernah di dengar dengan baik. Seorang anak yang hidup di balik sangkar emas orang tua nya dan seorang anak yang tidak pernah bisa memilih.
Hai, perkenalkan! Aku Nata, seorang anak perempuan yang sedari kecil hidup terombang-ambing oleh tangan-tangan manusia yang membuatnya hadir ke dunia ini. Orang-orang yang berlabel sebagai waliku, sejak kecil aku tidak pernah bisa memilih tentang apa yang aku mau. Aku dibesarkan dengan banyaknya persoalan bahkan sejak usiaku belum mencapai usia masuk sekolah.
Orang tua yang memiliki aku sebagai anak perempuan mereka bercerai, tepat di tahun ketiga aku lahir ke dunia ini. Saat itu tidak ada yang aku pahami dan mengerti mengapa mereka tidak bersama lagi? Aku bertanya-tanya dan menerka mungkin saja memang ayah yang selama ini ada memang tidak tinggal bersama ibu. Namun, pandangan lain hadir saat seorang pria berkepala empat datang ke rumah nenek dan bilang bahwa dia adalah “Ayah”. Sungguh, siapa orang itu? Aku hanya memiliki satu orang ayah dan bukan dirinya. Namun, ibu bilang itu adalah ayah.
Lagi dan lagi usia yang terlalu muda membuat aku menerima segala keputusan ibu untuk memanggil diri orang itu sebagai ayah. Dari sini, semua luka terbuka lebih lebar.
Pada pernikahan kedua ini, aku benar-benar merasa di benci oleh banyak pihak. Segala bentuk hardikan, cemoohan dan juga perlakuan buruk di torehkan oleh pria yang menikahi ibu itu. Bahkan, untuk kesalahan kecil aku bisa di hina sebagai manusia paling buruk di muka bumi olehnya.
“Anak perempuan bodoh!” “Anak perempuan gak tahu diri”. Well, itu semua adalah bentuk bagaimana semesta menguji jiwa anak kecil yang saat itu berjuang. Aku selalu merasa sendiri, tidak pernah di dengar siapa pun dan hal itu bertambah pekat saat ibu melahirkan adik laki-laki ku. Aku tidak akan pernah berkata dia adalah anak dari seorang pria yang bukan ayah ku tetapi aku akan menganggap dia sebagai mana adik kandung. Semua berjalan sesuai perkiraan, ibu cenderung memperhatikan malaikat kecil itu di banding anak pertamanya. Semua atensi, kasih sayang dan juga perlakuan baik tertuju pada anak tampan itu. Aku merasa sangat terpojok.
Ada perasaan menolak dan tidak suka pada sosok lelaki tua itu. Ayah sambung ku, namun lagi dan lagi. Ibu yang terlalu takut akan kehilangan harta bendanya dan sistem patriarki yang luar biasa gila membuat aku bertekuk lutut seperti memohon belas kasih dari beliau. Aku hanya bisa menurut dan diam, agar bisa mendapat pendidikan dan biaya hidup dari orang itu.
Sakit? Tentu! Tapi aku tetap berdiri dan bertahan karena ibu. Aku tahu ibu membutuhkan orang itu dan aku harus diam agar ibu tetap bisa bertahan dengan segala aset nya. Jujur, memang segalanya terpenuhi jika di lihat dari segi materi tidak pernah aku merasa kurang. Namun, segalanya yang mereka beri adalah bukan yang aku inginkan.
Segala hal yang biasanya anak kecil dapatkan tidak aku temukan di kehidupan ini. Aku di tuntut untuk tetap diam dan tidak memberontak. Sampai, suatu ketika masa remaja mulai hadir dan aku sudah tumbuh menjadi anak perempuan yang pintar. Namun, lagi dan lagi ada hal buruk sebagai balasan kepintaran dan hal yang membuat aku bahagia.
Diriku mendapatkan pelecehan dari ayah sambung ku, sentuhan-sentuhan di area yang tidak boleh di sentuh membuat aku merasakan trauma yang begitu dalam. Ada bisikan yang mengatakan bahwa aku kotor, perlakuan orang itu padaku selalu membuat aku jijik. Depresi, menangis dan harus tetap tutup mulut. Agar ibu aman….,
Sekali lagi agar ibu tetap aman aku harus menurut.
Semuanya menjadi lebih menakutkan, aku benar-benar takut untuk diam di rumah dan parahnya. Meraka yang membuat aku merasakan adanya benteng kuat malah menambah pertahanan tersebut. Mereka membatasi dunia luar yang seharusnya aku jelajahi di usia remaja. Tidak ada toleransi yang jelas, segalanya terasa buyar. Tidak ada pandangan yang konkrit, aku tidak bisa merasakan genggaman kuat tentang dunia di luar sana.
Semuanya di labeli dengan alasan “Apa yang kurang dari yang kami berikan?”
Jika saat itu aku bisa menjawab. Aku akan menjawab “Sangat kurang!”
Tapi entah mengapa, aku tidak bisa mengatakan hal itu. Permainan waktu terus berputar. Ayah sambung ku tidak melakukan pelecehan kembali karena aku sudah mulai mempertegas batasan dan sudah mulai mengerti cara untuk menjadi manusia yang berani. Sedikit, namun aku sudah cukup bangga dengan hal itu.
Tahun-tahun berlalu, hingga sampai pada usia remaja puncak. Mungkin, bisa aku katakan saat usiaku menginjak usia anak sekolah menengah atas. Ayah sambung ku mengalami pensiun, kekayaan nya menurun berkali-kali lipat dari biasanya.
Aku sudah menduga hal ini, namun kebiasaan dirinya yang mengatur orang secara berlebih dengan aturan yang luar biasa gila membuat aku merasa di jerat oleh kawat besi sekuat mungkin. Dan ibuku tidak bisa bertindak apa-apa.
Sangat di sayangkan, ibu tidak pernah sekalipun mendengar apa yang mau aku ceritakan. Ia hanya fokus pada aset dan kepentingan pribadi nya, ya bisa di katakan aku adalah anak yang dilahirkan olehnya untuk diam dan duduk tanpa harus berbicara apapun.
Aku memiliki mimpi dan mimpi besar itu di tahan oleh orang yang berharap sesuatu besar dariku. Bukankah itu sistem yang bodoh?
Saat ayah sambungku mulai pensiun dan aku mulau memperbaiki hubungan baik dengan kedua orang itu. Tiba saat di mana aku lulus sekolah menengah atas dan saat itu juga kejayaan mereka semua runtuh.
Tidak ada biaya untuk kuliah, tidak bisa mengajukan bantuan karena ayah adalah mantan pegawai negeri. Sudah jelas bukan? Mereka itu terlalu mementingkan ego tanpa membuat perhitungan yang matang di masa depan.
Sekarang apa buktinya? Aku mencari kerja sulit karena semasa sekolah orang tua Benar-benar membatasi pergaulan anak-anak mereka. Bagi kami yang ingin berkembang tentu itu adalah sebuah pengekangan.
Mereka tidak tahu seberapa besar mimpi anak perempuan ini. Aku mencari kerja selama berbulan-bulan namun hasilnya adalah nihil. Sumber daya manusia di negeri ini masih terbilang rendah. Mereka memberikan aturan penerimaan kerja di luar batas normal, tidak ada kesempatan bagi anak-anak yang mau mencari pengalaman untuk belajar mereka semua cenderung memilih orang-orang yang sudah memiliki pengalaman bekerja. Sementara aku? Gadis yang tidak pernah melewati batas orang tua mereka dan diam mengikut aturan.
Sekarang di tuntut untuk berkembang dan berbaur ke dunia luar oleh orang yang dahulu membatasi segala peluang dari luar. Lucu bukan?
Dahulu mereka bersikeras melarang aku yang mau belajar banyak hal dari luar dan mencari pengalaman dengan alasan menjaga pergaulan. Sekarang, saat mereka sudah kehilangan banyak aset dan kekayaan nya. Mereka menuntut aku untuk mencari ilmu dan terjun langsung ke dua luar.
Dunia ini memang tidak mah mendengar ya? Mengapa? Mengapa tidak ada yang mau mendengar dan sekali saja bertanya apa aku baik-baik saja selama ini? Apa aku terlihat sehat?
Tidak!
Aku berjuang di atas aturan yang mencekik. Banyak impian yang harus aku jalani.
Terkadang jika sudah lelah dengan masa-masa kelam ini. Aku berpikir bagaimana jika ayah kandung ku datang pasti aku ingin sekali tinggal bersama dengan nya. Namun, semuanya ternyata sama.
Hari di mana ayah kandung ku muncul adalah hari di mana harapan yang aku idamkan selama bertahun-tahun ikut hancur. Kepercayaan ku padanya pudar, bagaimana tidak? Ia bicara pada istri barunya bahwa aku bukan anak kandungnya. Haha, sakit bukan? Tentu saja tapi entah mengapa rasanya terasa biasa saja.
Mungkin, karena banyaknya penolakan yang sudah terjadi serta banyaknya kata tidak yang aku alami menjadikan jiwa di dalam raga anak perempuan ini sudah tumbuh menjadi lebih kuat dari biasanya.
Sekarang, aku tahu bahwa ini adalah proses hidup. Tidak ada perjalanan hidup yang halus, setiap manusia memiliki sisi beratnya.
Aku mendapatkan pekerjaan freelance sebagai digital artist dan juga penulis novel di salah satu aplikasi digital. Terbilang cukup. Dan ayah sambungku sudah lebih bisa membuka matanya dengan lebar dan terbuka mengenai pengekangan yang ia lakukan.
Aku juga berkuliah di salah satu perguruan tinggi negeri dengan sistem belajar jarak jauh. Walaupun merasa tertinggal tapi aku bangga “Kok bisa ya ada anak perempuan sekuat ini?”. Itu adalah pendapat pribadi mengenai diri ku yang sekarang.
Anak perempuan yang tumbuh dengan banyak duri dan berhasil beramai dengan keadaan adalah sebuah anugerah terbesar yang Tuhan berikan.
Satu hal yang pasti, mulai saat ini setiap aku menginjakan kaki dan setiap tarikan napas yang aku lakukan adalah untuk perubahan dan kebaikan. Segalanya adalah obat bagi kehidupan. Pengalaman pahit adalah obat untuk rasa kebal.
Suatu saat, lima tahun dari sekarang aku pasti bisa mencapai segala impian yang telah aku susun dan sempat tertunda. Impian untuk berkuliah di luar negeri. Tidak ada salahnya kan jika sekarang anak perempuan memiliki pendidikan yang tinggi. Selagi ia mampu why not?
Untuk aku, Nata
Padamu lima tahun dari sekarang.
Terimakasih banyak untuk segala bentuk pertahanan dan perjuangan yang hadir. Dirimu yang sekarang adalah bentuk terbaik dari kinerja masa lalu. Selamat datang di tahun-tahun yang baru. Perjalanan yang unik akan selalu menjadi bahan untuk di lalui.
Sampai jumpa di lima tahun mendatang, Dari dirimu di tahun 2024.