Aku masih memandang sendu sesosok tubuh yang telah terbujur kaku. Wajahnya bisa kulihat meski tertutup kain putih. Wajah yang telah melahirkanku dengan bertaruh nyawa dan membesarkanku dengan penuh cinta. Kini aku harus melepasnya setelah memberi luka.
“Kasihan, ya, Bu Astri. Gara-gara masalah si Intan beliau jadi kayak gini,” ucap seorang tetangga pelan namun, sayangnya terdengar menusuk di telingaku.
“Jangan gitu lah, Jeng! Mana ada perempuan yang mau gagal nikah. Ini semua juga bukan kemauan Intan.” yang diajak bicara justru membelaku.
“Iya sih, tapi kayaknya memang si Intan itu bawa sial deh.”
“Huss, kok makin ngelantur sih, Jeng?” yang diajak bicara pun mulai jengah sepertiku.
“Ya coba pikir? Baru setahun bapaknya meninggal, terus empat bulan yang lalu dia kena PHK. Eh sekarang nikahannya gagal gara-gara calonnya hamilin perempuan lain. Padahal tinggal akad saja, sampek ibunya kaget dan meninggal begini.”
Aku beranjak ke kamar. Entah apalagi yang mereka bicarakan aku sudah tak peduli. Terlalu sakit aku mendengar semua itu. Meski aku paham semua orang kini memandang rendah padaku. Tapi pantaskah mereka membicarakan itu di depan jenazah Ibu?
Aku mengunci kamar dan terduduk bersandar pada pintu. Tak terbendung lagi air mata ini. Dadaku terasa sesak.
Mengapa Ya Allah? Mengapa jalan hidupku harus seperti ini?
Batinku meronta dan marah. Tak habis pikir dengan takdir yang begitu kejam memperlakukanku. Di usia 32 tahun seperti sekarang aku menyandang gelar perawan tua. Mereka bilang aku terlalu pemilih karena menolak beberapa lamaran.
Aku yang terlalu sibuk dengan karir karena ingin segera memberangkatkan Ibu dan Bapak ke tanah suci justru dicibir karena dianggap sombong. Sampai saat ada PHK besar-besaran di perusahaanku mereka semua kompak mengatakan bahwa itu pantas kuterima sebagai karma karena menolak banyak lelaki yang meminang.
Selama ini aku diam. Namun hari ini, aku merasa Allah terlalu dalam mengujiku. Aku merasa sudah tak sanggup menahan semua sakit dan beban ini. Jika hanya sekedar cemoohan karena menolak lamaran beberapa laki-laki maupun kehilangan pekerjaan aku masih kuat. Tapi jika telah membuka hati dan mulai mencintai seseorang yang menurutku tepat lalu ternyata harus kehilangan di hari pernikahan, sampai ibuku harus meregang nyawa karena penyakit jantung sehari setelah peristiwa pilu itu, aku benar-benar tak tahan.
*****
Hari ini hari ke delapan setelah kepergian Ibu. Selama tujuh hari aku lebih banyak mengurung diri di kamar. Seperlunya berbicara dengan saudara yang membantu menyiapkan tahlilan untuk Ibu. Untunglah mereka paham kondisiku. Sehingga tak terlalu banyak mengusikku dengan hal-hal tak penting.
Tok tok tok …
“Intan? Ini Bude Minah, Ndug. Boleh masuk?” terdengar suara Bude Minah, kakak kandung almarhum Ibu.
“Nggih Bude. Masuk saja. Tidak dikunci.” Aku menyahut tanpa beranjak dari sisi jendela.
“Sedang apa Ndug?” Bude bertanya basa-basi setelah masuk dan duduk di tepi tempat tidurku.
“Ah, tidak Bude. Cuma masih kangen Ibu sama Bapak. Sekarang makin sepi,” jawabku.
“Ndug, Bude tahu kamu terpukul dengan semua ini. Tapi tidak baik kalau kamu terus-terusan terpuruk seperti ini. Bapak sama ibumu sudah tenang. Jangan diberatkan dengan ketidakikhlasan ya.” Bude menasehatiku. Bude Minah memang salah satu saudara yang paling dekat denganku. Kadang jika bukan pada Ibu aku akan berkeluh-kesah pada beliau. Beliau tidak memiliki anak perempuan, semua sepupuku laki-laki dan telah tinggal terpisah. Jadilah aku dianggap seperti putrinya.
“Mungkin Intan butuh waktu Bude. Selama ini Intan berusaha kuat, tapi Intan juga perempuan biasa. Intan lelah sekali Bude.” Air mataku menetes begitu saja. Tak kuasa ku tahan lagi.
“Iya, Bude sangat paham. Tapi jangan sampai kamu terpuruk ya. Semua ini ujian buat kamu.”
Aku diam. Tak mampu lagi menjawab perkataan Bude Minah. Entahlah, terlalu banyak hal yang ingin keluar dari benakku namun bibirku kelu tak mampu berucap lagi.
“Yasudah, Bude cuma pengen nengokin kamu. Sekarang Bude pulang dulu. Nanti kalau butuh apa-apa kamu ke rumah saja. Bude hari ini gak kemana-mana. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Bude menutup pintu kamarku.
*****
Sore ini aku memutuskan pergi. Setelah seminggu aku mengurung diri. Entah akan kemana kaki ini melangkah, yang jelas aku ingin mencari ketenangan. Tepat pukul 3 sore aku pamit pada Bude Minah.
“Mau kemana Ndug? Sore-sore begini?” tanya Bude Minah. Suaranya terdengar cemas.
“Intan pengen cari angin Bude.”
“Biar ditemenin sama Dinda ya, Bude telponkan dulu.” Dinda adalah menantunya. Istri Bang Ahsan, anak bungsu Bude Minah.
“Jangan Bude. Intan pengen sendirian dulu,” jawabku.
“Tapi… kamu gak bakal aneh-aneh kan Intan?” suara Bude mulai panik.
“InsyaAllah Bude.” Sejujurnya Intan tak tahu Bude. Intan lelah. Maafkan Intan. Kusunggigkan senyuman agar Bude berhenti terlalu cemas. Aku ingin segera pergi dari sini.
“Baiklah. Jangan pulang terlalu malam ya.” Akhirnya meski berat Bude Minah mengizinkanku pergi.
Dan di sinilah aku sekarang. Setelah selama 40 menit mengendarai sepeda motor, aku memutuskan berhenti di sekitar kampung ini. Entah kampung apa, yang jelas terletak di pinggiran rel kereta api.
Aku duduk di sebuah bangku kayu. Suasana yang sepi membuatku semakin jauh merenung. Berbagai kejadian berkelebat memenuhi pikiranku. Berkali-kali gagal mendapatkan jodoh, hingga kehilangan pekerjaan setelah Bapak meninggal sudah merupakan pukulan berat bagiku. Namun kehilangan Mas Dirga dan Ibu adalah hal yang benar-benar membuatku terpuruk.
Entah apa salahku. Apa mungkin benar perginya Mas Dirga juga merupakan karma karena aku menolak beberapa lamaran sebelumnya?
Mas Dirga adalah sosok lelaki yang benar-benar aku cari. Aku mengenalnya setelah Bapak berpulang. Dia pemilik salah satu toko di dekat perusahaan tempatku dulu bekerja. Sosoknya yang saleh dan penyayang mencuri hatiku di awal pertemuan. Bahkan saat aku sedang terpuruk karena di PHK perusahaan dialah yang memberi ketenangan bahwa semua baik-baik saja.
Awalnya aku tak terlalu ingin berharap banyak pada cinta yang tumbuh. Karena fokusku saat itu membahagiakan Ibu. Namun sore hari, sekitar 2 bulan yang lalu dia datang ke rumah menemui Ibu dan melamarku. Menawarkan kehidupan penuh cinta dan kebahagiaan. Bahkan dia telah menunjukkan bukti keseriusannya dengan membeli sebuah rumah impian untuk kami nantinya. Air mataku berlinang haru saat menerima pinangannya. Selama dua bulan persiapan pernikahan semua seakan dimudahkan. Maka semakin yakinlah hatiku dengan pilihan yang telah kugenggam.
Namun, harapan itu ternyata adalah sebuah kepalsuan. Saat hari yang harusnya membahagiakan akhirnya menjadi malapetaka. Keluarga mempelai pria datang tanpa pengantin. Berkata bahwa Mas Dirga harus bertanggung jawab karena telah menanam benih di rahim perempuan lain. Runtuh seluruh kebahagiaan yang selama dua bulan ini kurajut. Hatiku hancur. Apalagi saat Ibu akhirnya terjatuh luruh dan menghembuskan napas terakhirnya saat dalam perjalanan ke rumah sakit. Satu-satunya pegangan hidupku harus pergi, karena tak kuat dengan segala takdir yang kujalani.
Sepasang kaki ini kembali melangkah. Menyusuri rel kereta api yang kini sunyi. Aku masih berharap kereta akan segera lewat dan membawaku pergi. Pergi dan tak kembali. Air mata masih terus menetes di pipi ini. Menyisakan aliran sungai kepedihan yang tak dapat aku pendam lagi. Aku Lelah. Teramat lelah. Cukup sudah Tuhan menguji, aku sudah merasa tak mampu lagi.
“Kak, jangan di situ! Ada kereta mau lewat!” Sebuah teriakan membangunkanku dari lamunan. Sekejap kemudian sebuah tangan mungil menarikku minggir dari jalur lintasan kereta. Membiarkan barisan gerbong itu lewat begitu saja.
“Kakak kok gak denger diteriakin dari tadi! Huh, hampir aja ketabrak kereta kan? Jangan ngelamun, Kak!” omel gadis kecil yang ku taksir berusia sekitar 7 tahun.
“Eh, i-iya. Makasih ya dek…”
“Panggil aja Rima.”
“Iya, Dek, Rima. Kenalkan nama Kakak Intan.” Aku memperkenalkan diri.
“Kakak habis nangis ya? Itu ada air matanya.” Rima mengusap pipiku dengan jari mungilnya. Membuatku sedikit gelagapan karena malu.
“Ah, karena kelilipan mungkin.” kilahku. “Dek Rima ngapain di sini? Kok sendirian?” tanyaku mengalihkan pembahasan.
“Mau pulang, Kak. Tuh, rumah Rima di situ.” Tangannya menunjuk perkampungan di seberang rel kereta.
“Emang dari mana? Kok sindirian?”
“Habis mulung, Kak. Emang biasanya sendiri soalnya Emak sakit. Gak bisa jalan.” hatiku teriris mendengar penuturannya.
“Kalau Bapak kamu?” aku masih penasaran.
“Bapak gak tahu kemana, Kak. Kata Emak dari aku belum lahir Bapak pergi jauh.” Tanpa sadar air mataku luruh.
“Jadi kamu tiap hari kerja? Gak sekolah?”
“Bisa makan aja alhamdulillah Kak.” Senyumnya terukir tulus. Seolah tak ada luka meski hidupnya penuh derita. “Kata Emak, meskipun gak bisa sekolah aku harus bersyukur. Allah masih ngasih hidup lengkap. Banyak lho temanku yang gak sekolah tapi mereka sudah gak punya Emak. Ada juga yang hidupnya masih sama orang tua tapi kakinya buntung karena pernah kecelakaan.”
Aku tertegun mendengar perkataan Rima. Di usia yang sekecil ini dia menjadi dewasa karena keadaan. Terselip rasa malu di hatiku. Sejenak lalu aku baru saja meminta kematian pada Allah karena merasa menjadi yang paling menderita karena semua yang telah ku lalui. Tapi melihat Rima, aku merasa sangat kecil.
“Tadi Rima pikir Kakak ini mau bunuh diri. Sering ada kayak gitu di sini. Terus masuk berita di TV. Kasihan, masuk TV malah pas udah mati ya Kak.” ujarnya polos, namun sukses membuatku semakin menunduk malu.
“Eh, Kak! Udah ya. Aku mesti pulang. Waktunya mandiin Emak. Kasihan kalau kelamaan nunggu.” Pamitnya sambil melambaikan tangan. Langkah kakinya terlihat ringan. Membuatku merasa bahwa harusnya aku mampu sepertinya. Mensyukuri sesakit apa pun peristiwa yang terjadi, tapi masih lebih banyak hal yang patut disyukuri.
Aku masih bernapas. Dan itu berarti Allah masih ingin aku berada di dunia ini, berusaha menjadi manusia yang jauh lebih baik lagi. Ujian ini berat, tapi aku jauh lebih beruntung dari jutaan orang di luar sana.
Aku melangkah pasti kembali ke tempat memarkirkan motor. Menyusuri jalan pulang dengan hati yang lebih ringan. Berjanji untuk memulai hari yang baru dengan lebih indah. Menjadikan semua yang terjadi sebagai sebuah titik balik kehidupan. Titik balik yang membawaku menuju kebahagiaan di masa depan.
*****END*****