Ranjang-ranjang tertimbun puing.
Aku duduk di sana,
menulis namamu
pada serpihan batu merah daging.
“Hatiku tidak menyerah.”
Kami merapal mantra di antara ledakan.
Roti separuh kau iris dua,
puisi kau selipkan di bawah bantal malaikat kecilmu.
Malam mengguyur hujan meteor,
tanganmu melukis batang zaitun
di tembok dapur yang nyaris ambruk.
“Tolong, kirim rinduku pada bayangan kamar kelahiranku itu!”
Azan pecah di tengah partikel keadilan.
Jendela dunia menjelma kuburan massal.
Lihat!
Anak-anak mengeja kata “MERDEKA”
tak takut mati,
di reruntuhan penceramah perdamaian,
disaksikan spidol sumbangan yang tintanya hampir habis.
Aku melihatmu berdiri,
menggenggam batu,
menandai bait yang menanti kembaliku.
Aku titip surat cinta pada angin Kufiyah.
Pesan tanpa perangko
berisi bau tanah,
ribuan helai mahkota malaikat tak berdosa,
dan nyanyian tanpa henti.
Jika dunia lupa,
ingatkan mereka:
Kami akar,
kami benih.
Kami bertumbuh,
meski langit runtuh.