Arunika; Harapan yang Sempat Sirna – Cerpen Elfa Fadilah

puisi mencintai diri

Arunika; Harapan yang Sempat Sirna
Karya: Elfa Fadilah

Setiap orang punya harapan yang ingin dicapai di masa yang akan mendatang. Terkadang harapan itu dianggap terlalu tinggi bahkan mustahil tapi jika usaha keras dibarengi dengan rasa percaya akan takdir Tuhan, bisa saja tercapai. Namun, ada orang-orang yang takut dengan berharap tinggi, takut kegagalan menemani jalannya padahal kegagalan merupakan hal yang wajar bukan? Bukannya itu yang membuat kita lebih memaknai jalan hidup? Kata gagal menjadi momok menakutkan ketika sudah melibatkannya dengan rasa orang lain.

Seperti pepatah dari Bung Karno “Bermimpilah setinggi langit, jika kamu jatuh maka kamu jatuh di antara bintang-bintang.” Aku selalu percaya dengan itu, yang membuat keyakinan diri semakin tinggi. Sebenarnya mimpiku sederhana saja, menerbitkan satu novel di tahun 2023. Namun, itu sudah menjadi resolusi tahun sejak 2020 tapi tidak juga tercapai. Hal yang membuatku kesulitan ketika menemukan ide baru selalu menggebu-gebu tapi tidak pernah menyelesaikan tulisan yang kubuat sejak lama. Ada banyak draft cerita tak usai. Katakanlah aku seorang peselingkuh piawai karena terus mencari sesuatu yang baru sesuai dengan perasaanku saat itu. Lainnya, sulit menemukan pembaca tetap yang menikmati karyaku, terkadang menimbulkan penurunan semangat. Sempat kuputuskan untuk berhenti menulis karena tidak melihat masa depan yang cerah disana.

Satu novel kuanggap sebagai hadiah terbaik di tahun ini jika memang benar terwujud. Salah satu dorongannya adalah menjadi mahasiswa Sastra Indonesia. Harusnya itu lebih mudah untuk mencapai tujuanku ‘kan tapi tidak juga setelah satu tahun resmi menyandang gelar sebagai anak Sastra justru semakin membuatku jauh dari kesenanganku itu. Menulis dan membaca bukan lagi menjadi sesuatu yang kusenangi dan meluangkan waktu untuknya. Kepadatan aktivitasku membuat aku lupa. Terlebih aku semakin tahu bagaimana membuat karya sastra yang sesuai aturan meskipun sastra merupakan kebebasan. Ketika sudah ditentukan untuk menulis tema seperti apa demi tugas, minatku pada menulis semakin menurun saja karena seperti dipenjara isi pikiranku.

Kala itu, aku sedang merenung di gazebo jurusanku untuk memikirkan apa yang menjadi tujuanku sebelum semester tiga berakhir. Situasi saat itu malam hari dengan hujan lebat yang mengguyur Semarang, ternyata berisik hujan mengusik isi hatiku juga. Perasaan cemas karena belum menjadi apa-apa ketika di perantauan tiba-tiba datang. Memikirkan kembali, sibuk apa aku disini? Ah, apa rapat setiap hari untuk organisasi membuat aku semakin kehilangan arah? Barangkali iya, karena tidak ada waktu untuk bernapas barang sejenak, malam ini tentu beda. Entah alasan apa selain ketenangan yang membawaku duduk sendirian di gazebo sejak sore tadi padahal rebahan di kasur kos jauh lebih nyaman.

Guntur sepertinya memberi tanda kemarahan karena aku tak kunjung pulang. Sebelum hujan, ada banyak anak semester lima sedang latihan untuk pentas drama yang digelar di penghujung tahun nanti, aku sering melihatnya karena setiap hari aku mendatangi gazebo ini. Aku melayang jauh ke atas, menemukan banyak bintang, jiwaku seperti berada di atas rerumputan hijau di tengah lapangan luas dengan bulan dan bintang tersenyum lebar. Angin malam semakin membuatku kedinginan, berbeda cuaca saat siang tadi, matahari benar-benar menunjukkan dirinya sampai pukul empat sore baru suasana lebih sejuk dan menenangkan karena keringatku tak lagi bercucuran dan tidak perlu mengipasi wajahku dengan buku yang kubawa.

“Sastra mau jadi penulis, ya?” monologku ketika bisikan banyak orang terasa memekik di telingaku. Menjadi penulis novel merupakan salah satu impianku tetapi bukan satu-satunya karena aku tidak bisa mengandalkan hidupku hanya dengan upah dari tulisan imajinasiku, terlebih aku bukan seorang yang punya nama meskipun beberapa kali menerbitkan karya cerpen dan menjuarai lomba menulis. Aku masih terlalu kecil di antara banyaknya penulis ternama di Indonesia. Terlalu tinggi. Namun, aku merasakan kembali perasaan menggebu-gebu untuk menulis karya fiksi setelah sekian lama jauh.

Aku masih merasa tulisanku adalah isi kepala yang berisik, yang bisa memberikan ketenangan. Menulis seperti memberi nyawa pada hal-hal yang tidak diungkapkan lewat wicara. Aku selalu iri dengan orang-orang yang mempunyai kemampuan berbicara sangat baik tetapi kuanggap menulis adalah anugerah Tuhan yang diberikan kepadaku sehingga ratusan kata bisa tercipta, keluar dari penjara pikiran. Saat menulis sesuatu yang menyakitkan, aku sungguh merasa jika dunia bisa saja tidak mendengarkan lukaku tapi tulisan bisa menjadi pendengar yang baik.

Duduk tegak sembari bersandar tiang yang menumpu beban bangunan ini, aku berpikiran untuk mewujudkan kembali impianku selama bertahun-tahun itu. Menerbitkan karya solo, sebuah novel fiksi remaja. Aku mengambil binder dari totebag usang ikon bunga matahari, tas tersebut sudah kupakai semenjak semester satu, karena warnanya cream, semakin bertambah waktu, semakin pudar warnanya. Aku membuka binder pada halaman terakhir, sudah banyak coretan di sana, yang jelas bukan terkait masalah perkuliahan, acak dan bergantung perasaanku saat itu. Aku membuka lembar kosong, mengambil pulpen yang kuselipkan di tengah binder.

Pulpen itu bergerak luwes, selaras dengan isi pikiranku. Hal yang ingin kutulis adalah hidupku sendiri yang sebenarnya tidak menarik tapi aku sedang malas riset banyak untuk jalannya cerita, menulis berdasarkan pengalaman jauh lebih mudah.

Garis besarnya kutaruh di Sastra Indonesia, sebuah pilihan yang membuat orang tuaku marah habis-habisan karena tidak mengambil program studi Saintek karena SMA aku berada di jurusan MIPA. Namun, aku sudah muak dengan ilmu pasti seperti Matematika yang sayangnya didiamkan oleh kedua orangtuaku. Standar membosankan yang sejak dulu ada, matematika merupakan tolak ukur kecerdasan individual.

Orang yang pandai Matematika belum tentu ahli di bidang lain pun dengan aku yang tidak menyukai sekaligus tidak menjadikan Matematika sebagai bidang yang digeluti, hal itu membuatku selalu ditempatkan di belakang oleh orangtua karena adikku sudah jelas sangat menggeluti bahkan pernah mengikuti Olimpiade Matematika sampai tingkat Provinsi, suatu yang membanggakan bukan? Namun, skill menulisku jauh lebih baik tapi orang tuaku menolak fakta itu.

Pulpenku sudah menghasilkan satu paragraf sebagai garis besar cerita yang ingin kutulis. Rencananya aku memasukkan rasa sakitku di dalam cerita ketika Kakaku di usianya yang sudah cukup dewasa, 27 tahun tapi menjadi seorang pengangguran yang kerjanya marah dan pacaran saja, itu membuatku kesal, sepertinya ayah dan ibu tidak berniat menasehati lagi karena sudah muak tapi aku tidak rela saja ketika mereka membiarkan kakakku hidup bergelimang harta yang dibuat foya-foya bersama pacarnya sementara aku disini mati-matian untuk mencari uang tambahan. Bahkan, aku tidak diizinkan mengendarai motor sendiri di Semarang, prioritas orangtuaku memang aneh.

Tiba-tiba kemeja hitam yang kugunakan terasa basah, kiranya terkena semprotan air hujan, rupanya itu berasal dari mataku. Buru-buru aku menggeser binder karena takut basah juga. Aku mendongak, menahan agar air mata itu tidak jatuh lagi. Kenapa aku menangis? Dadaku sesak, kepalaku semakin berisik. Sedikit berhasil tetapi ketika aku mulai menulis lagi, air mataku semakin jatuh. “Yang menulis tangan, yang sedih malah mata,” hiburku.

“Ternyata aku bisa melewati masa itu. Memang benar jika niat dan percaya akan tercapai, bisa saja selesai.” Aku sedang rebahan dan menatap langit-langit kamar tetapi sebenarnya mengawang pada kejadian malam dimana aku bisa memutuskan hal yang menjadi mimpiku. Kini satu buah novel sudah berada di dekapanku, sebutlah luka yang ditorehkan pada sebuah kertas menjadi nyata. Agaknya menenangkan menulis kisah hidup sendiri karena selain mudah tetapi sedikit menyembuhkan rasa sakit yang pernah kualami, apalagi ketika beberapa orang mengapresiasi tulisanku dengan baik.

Ternyata lukaku bisa memberikan dampak positif untuk orang lain. Sayangnya, ayah dan ibu bukan orang yang mengapresiasi itu, mereka biasa saja dengan karyaku, seakan tidak peduli. Mungkin Sastra Indonesia masih menyakitkan bagi mereka.

Ini merupakan awal baik untuk kesembuhan isi kepalaku yang kadang terlalu jauh berkelana. Ke depannya aku akan terus menulis tetapi aku sekarang lebih ingin menjadi seorang pengamat yang bisa mewakili perasaan yang tidak tersampaikan. Kisah hidupku sudah cukup untuk dibuat cerita, kuselipkan sedikit saja untuk menjadi bumbu di ceritaku yang lain.

Prosesnya tidak mudah, aku sering kehabisan kosakata yang sesuai ketika membuat cerita, terkadang idenya sudah menarik tetapi narasinya kurang, aku harus membaca ulang berulang kali agar nyaman dibaca, memposisikan sebagai pembaca juga karena tanggapan mereka sangat berguna untuk karyaku ke depannya, tidak bisa dipungkiri selera bacaan orang berbeda-beda tapi aku dengan senang hati menerima masukan dari mereka.

Aku memiliki mimpi lebih besar lagi, menjadi seorang penulis selama-lamanya, tidak dikekang oleh waktu, dan tetap menulis selagi nyawa ini masih membara. “Semangat aku di masa depan.” Ingin menciptakan kebahagiaanku dengan cara sederhana.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *