Esok
Karya: Nisrina Fadiya Ummah
Suara lonceng terus terdengar bersahutan dengan sapaan dari para pelanggan pagi ini. Aroma roti hangat memenuhi ruangan bahkan sampai memenuhi seluruh ruas jalan di luar toko roti, menggait lebih banyak orang untuk berkunjung. Setiap hari selalu sama seperti ini. Toko roti tempat Fiona bekerja selalu ramai oleh pengunjung. Toko roti dan apartemen kecil Fiona menjadi 2 tempat dimana kehidupannya berputar. Setiap hari hampir selalu sama sampai pada suatu saat di pertengahan musim gugur seorang lelaki muncul di cafe depan toko roti mereka. Lelaki itu awalnya tidak menarik perhatian Fiona karena dia sama saja seperti banyak pengunjung cafe yang lain namun semakin lama, lelaki itu mulai menarik perhatiannnya. Dia selalu datang di waktu yang sama setiap pagi dan pergi di waktu sama. Dia juga memesan segelas minuman dan membaca buku. Lelaki itu bahkan duduk di kursi yang sama, yaitu di kursi luar cafe tepat di depan jendela besar toko roti mereka. Lelaki itu telah menjadi bagian dalam hidupnya yang sederhana.
Lelaki dengan segelas minuman dan buku kecil. Mengamati lelaki itu sudah cukup membuat hari-hari menjadi semakin menyenangkan.
Musim gugur telah berakhir dan salju mulai turun. Apakah hal ini akan membuat lelaki itu mengganti tempat duduknya? Karena biasanya cafe akan memasukan kursi di luar ke dalam ruangan saat salju mulai turun. Hal ini membuat Fiona sedih.
Hari ini salju turun lebih lebat dari sebelumnya. Dress panjang dan jaket tebal membalut tubuhnya. Dia selalu jadi yang pertama datang untuk membuka toko. Namun tampaknya hari ini dia bukan orang pertama yang sampai di toko. Lelaki itu telah duduk di bangku depan toko. Dia terlihat gugup. Fiona mengetahuinya karena kaki lelaki itu bergetar.
‘Apa yang dia lakukan disini?’ Pikir Fiona.
“Maaf nona,” lelaki itu berdiri di hadapan Fiona. Dengan senyum kecil dan buku di bangku tempat ia duduk. Lelaki itu menyapanya. Jantung Fiona berdetak sangat kencang namun ia berusaha memasang senyum terbaiknya. Sayang sekali, senyuman itu terlihat canggung.
“Ada apa tuan?” kata Fiona.
“Izinkan saya memperkenalkan diri, saya Hugo. Saya adalah laki-laki yang selalu duduk di cafe depan toko roti ini. Mungkin kau sudah menyadarinya,, atau mungkin kau tidak menyadarinya. Oh maafkan aku,” Suaranya lembut meski kata-katanya terbelit. Fiona sedikit tertawa, membuat suasana lebih hangat. Kemudian laki-laki itu tanpa sadar menggaruk belakang kepalanya.
“Saya menyadarinya tuan Hugo, saya tau anda selalu membaca buku dan minum di cafe depan toko roti ini,” ucap Fiona. Kali ini dia sudah tidak gugup. Jantungnya kembali berdetak normal. Mungkin melihat hugo yang gugup membuatnya lebih santai.
“Syukurlah kalau begitu, saya kemari hanya ingin mengajak nona berkenalan, bolekah?” Gadis itu mengangguk. kemudian menjawab, “Aku Fiona, senang bertemu dengan anda.”
Hugo menyentuh lembut telapak tangan Fiona dan memberinya sebuah kecupan dengan kepala tertunduk. Fiona terkejut. Ini seperti di negri dongeng. Hugo menatap matanya dengan hangat. Pupil mata Fiona membesar.
“Senang bertemu dengan anda nona Fiona, apa kau akan membuka toko roti?” Fiona mengangguk.
“Apa aku boleh duduk disini?”
Fiona mengangguk lagi lalu ia masuk ke dalam untuk membuka toko roti. Sementara Hugo duduk di depan toko roti sambil sesekali mengintip Fiona yang sedang bekerja. Lonceng kecil berdering saat pintu dibuka. Hugo menjadi pelanggan pertama di pagi ini. Ia tersenyum di meja kasir menatap Fiona yang juga balas tersenyum.
“Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat sore ini, jika kau bersedia kau bisa memberikanku roti coklat itu, dan jika kau tidak bersedia berikan kepadaku roti tawar saja,” katanya. Fiona diam sejenak. Hana yang mencuri dengar percakapan mereka langsung menyodorkan roti coklat kearah Fiona sambil tertawa.
Fiona menerimanya, ia memberikan roti coklat kepada Hugo.
“Kalau begitu, setelah toko roti ini tutup aku akan menjemputmu,” ucapnya sambil tersenyum lebar. Lelaki itu terlihat kikuk namun juga sangat percaya diri di saat yang sama. Lalu dia pergi setelah menyerahkan selembar uang dengan nominal besar.
Dia tidak mengambil kembaliannya. Namun Fiona bingung apakah Hugo tau kapan toko roti ini tutup?
Lonceng kecil itu sudah berdering untuk yang terakhir kalinya hari ini. Fiona dengan sigap membalik papan kecil penanda toko telah buka menjadi tutup. Ia tidak pernah sesemangat ini untuk menutup toko. Ia segera berdiri di depan pintu sambil menunggu Hugo. Lelaki itu datang dari arah barat dengan sepeda tua dan tangan yang melambai penuh semangat. Ia datang pukul 6 tepat.
Entah bagaimana Hugo tau kapan toko roti ini tutup.
“Kemana kita akan pergi?” tanya Fiona.
“Ada sebuah tempat di pinggiran kota, hanya satu jam dengan naik sepeda ini”
Fiona terdiam. Sepeda itu berwarna hitam dengan lampu di bagian depan yang menyala sepanjang roda berputar. Hugo mengenakan pakaian berwarna gelap dan jaket coklat tebal. Dia seperti lelaki yang keluar dari novel kisah cinta tahun 1940-an.
“Ayo naik Fiona!”
Fiona mengangguk senang. Beberapa saat kemudian roda sepeda mulai berputar. Angin dingin membuat dress panjang yang ia kenakan sedikit berkibar. Satu jam kemudian sepeda Hugo berhenti di pinggiran danau yang hampir beku. Danau itu indah sekali dengan lampu-lampu taman kecil dan beberapa bangku di sekitarnya. Meski begitu, tempat ini cukup sepi.
“Tempat yang indah bukan?” tanya Hugo, Fiona mengangguk. mereka turun dari sepeda dan berjalan menuju salah satu bangku kosong.
“Apa kau percaya pada keajaiban Fiona?” tanya Hugo. Fiona mengangguk.
“Kau tau Fiona, danau ini mempunyai sebuah legenda,” ucap Hugo.
“Apa itu?”
“Katanya danau ini dijaga oleh seorang peri yang baik hati. Ia bisa mengabulkan harapanmu jika kau memanggilnya dengan sebuah mantra,”
“Bagaimana mantra itu?”
“Setiap tetes air menyentuh bumi dengan senyum, peri danau lahir dengan tawa. Setiap harapan tertunda, peri danau membawa tawa,” jelas Hugo. Fiona mengangguk-angguk.
“Aku memiliki sebuah harapan Fiona,”
“Apa itu?” tanya Fiona.
“Aku ingin menyaksikan lebih banyak matahari tenggelam bersamamu, apa kau bersedia mewujudkan harapanku?”
Fiona menatap mata Hugo. Dia tersenyum kecil dan mengangguk kemudian tidak lama setelah itu matahari tenggelam dan lampu di sekitar danau menjadi lebih terang. Keesokan harinya dan ratusan senja selanjutnya Hugo dan Fiona selalu menyaksikan matahari tenggelam di danau yang sama. Waktu berjalan begitu cepat sampai tak terasa mereka telah bersama untuk lebih dari satu putaran bumi terhadap matahari.
Hari ini adalah hari terakhir di tahun 2023. Sama seperti setiap tahun sebelumnya toko roti selalu tutup satu jam lebih awal untuk merayakan tahun baru. Fiona sangat bersemangat untuk pesta akhir tahun kali ini. Ini adalah kali kedua ia menghabiskan pesta akhir tahun bersama Hugo. Namun tidak seperti tahun sebelumnya, tahun ini kota tempat mereka tinggal sedang dalam keadaan yang tidak aman. Akhir-akhir ini ada banyak baku tembak oleh orang-orang yang bermusuhan. Masalah itu sulit diselesaikan oleh polisi.
Pukul 5 sore Fiona telah menunggu di kursi depan toko roti. Hugo datang 10 menit setelahnya dengan sepeda hitam dan tangan yang melambai penuh semangat. Hugo akan mengantarnya langsung pulang ke apartemen kecil Fiona. Tidak mampir ke danau seperti biasanya.
“Aku akan menjemputmu nanti pukul 8 malam, sekarang kau beristirahat saja,” Kata hugo sambil mengecup punggung tangan Fiona. Gadis itu tersenyum sambil mengangguk lalu Hugo pergi.
Pukul 8 malam hugo datang dengan sepeda hitam dan senyum yang mengembang di wajahnya. Namun kali ini dia membawa sesuatu di saku jaket nya.
“ini untukmu,” ucapnya sambil menyerahkan setangkai mawar merah.
“terima kasih.”
“Ayo, kita harus segera ke bioskop!” kata Hugo. Fiona mengangguk lalu segera duduk di kursi belakang sepeda. Hugo mulai mengayuh sepeda dengan cepat. Malam ini kota sangat ramai dengan penduduk yang menghabiskan malam tahun baru. Bioskop penuh oleh pengunjung begitu juga taman-taman kota yang mereka lewati sepanjang perjalanan. Film yang mereka tonton selesai tepat saat salju turun semakin lebat dan orang-orang mulai menggerutu.
Hugo menatap Fiona, gadis itu selalu menyukai salju. Tidak seperti kebanyakan orang di kota ini yang membenci salju. Sebuah ide dengan cepat muncul dalam kepala Hugo. Ia membisikan sesuatu ke Fiona. Gadis itu langsung tersenyum lebar lengkap dengan kerutan kecil di ujung matanya. Fiona setuju dengan ide Hugo. Ia segera pergi menuju sepeda hitamnya dan membonceng Fiona ke suatu tempat. Setelah beberapa menit sepeda itu berhenti di bawah tiang lampu tua di tengah taman yang membeku.
“Maukah kau berdansa denganku?”
“Tentu,”
Telapak tangan Fiona menyambut ajakan hugo dengan lembut. tubuh kecilnya masuk dalam dekapan Hugo dengan sempurna. Tangannya melingkar di pinggang Fiona. Mereka tersenyum. Langkah-Langkah kecil terbentuk, meninggalkan jejak salju diatasnya. Cahaya temaram dari lampu taman tua membuat kepingan salju yang turun terlihat samar. Langkah dansa mereka sunyi tanpa musik, hanya suara-suara gesekan dari sepatu musim dingin. Hugo dan Fiona sangat bahagia. Malam semakin larut dan mereka masih berdansa di bawah lampu itu sejak 15 menit yang lalu. Tidak sadar bahwa sebentar lagi tengah malam.
“Hugo, sebentar lagi tengah malam.”
“Kau benar, ayo kita lihat kembang api,” ucap Hugo namun saat ia sedang mengambil sepedanya suara suara tembakan terdengar dari salah satu gedung di sisi jalan. Suara itu terdengar jelas, dan saling menyahut.
“Kita harus segera pergi Hugo, disini tidak aman!”
Hugo mengangguk namun desingan peluru itu lebih cepat dari Hugo yang berusaha mengarahkan sepeda. Timah panas telah bersarang di jantungnya.
“Hugo!”
Fiona dengan cepat menangkap hugo yang ambruk ke atas salju dingin.
“Tolong!” suaranya memekik dengan kencang dan nafas Fiona memendek. Hugo bersimbah darah. jaket yang ia kenakan basah.
“Aku senang dapat mencintaimu, Fiona.” suara lemah Hugo terdengar. uap-uap pendek terbentuk dari nafasnya. Ia mengecup telapak tangan Fiona.
Fiona terus berteriak ia tak berhenti meminta tolong, namun saat pertolongan datang semuanya telah terlambat. Malam itu Fiona menangis diatas mayat kekasihnya. Sementara kembang api sedang meriah menghiasi langit di sisi lain kota mereka.
Mentari terbit di hari pertama setelah bumi menyelesaikan satu revolusi nya lagi. Pagi ini orang-orang terlihat bahagia di luar apartemen kecilnya. namun angin segar tidak mampu membuatnya tersenyum. Ia tidak ingin pergi dari apartemennya ataupun dari tempat tidur. Dia tidak ingin melihat kenyataan, dia tidak mau menerima semua ini. Dia tidak bisa. Fiona tidak mampu melihat cafe di depan toko roti, ataupun setangkai mawar merah dari Hugo semalam.
Bunga itu tampak layu di meja kecil samping tempat tidurnya. Tidak ada lagi yang membuatnya bahagia. Fiona tak lagi memiliki Hugo. Tidak ada lagi lelaki misterius dengan sepeda hitam. Semuanya telah hilang.
‘andai saja, aku mampu mengulang waktu, aku ingin menghabiskan setiap detik bersamanya,,’
ucap Fiona dalam hatinya. Gadis itu terisak di atas tempat tidur. Tidak bangkit sama sekali sampai hari itu berakhir di tandai dengan mentari yang tenggelam. Cahaya senja yang masuk lewat jendela nya yang terbuka membuat hatinya semakin teriris. Ia mengingat setiap senja yang ia habiskan di danau. Danau tempat peri itu tinggal. Danau mereka berdua. Fiona ingin pergi ke danau itu. Ia perlahan bangun dari tempat tidurnya dan bersiap sebentar kemudian memesan taksi online karena kali ini tidak ada sepeda hitam yang mengantarnya.
Danau itu sepi, tidak ada orang disana. Fiona melangkah dengan berhati-hati menuju sisi danau kemudian duduk di atas rumpu basah yang dingin. dia menarik nafas panjang. Danau itu gelap. lampu-lampu kecil yang biasa meneranginya terlihat redup. Fiona menarik nafas dalam, air matanya kembali turun. Ini adalah tempat kesukaan Hugo.
Kemudian ia teringat kisah tentang peri danau. Ia bisa mengabulkan keinginannya. Namun apakah itu semua tidak terlalu gila? Fiona menatap jauh ke danau yang luas dan tenang. Hanya ada kenangan tentang Hugo dalam kepalanya.
‘siapa yang tau jika tidak mencoba’ batin Fiona. ini semua terdengar Gila namun Fiona tetap membacakan mantra untuk memanggil peri danau.
“Setiap tetes air menyentuh bumi dengan senyum, peri danau lahir dengan tawa. Setiap harapan tertunda, peri danau membawa tawa.” Danau itu tenang. Hanya ada Fiona disana dan seekor kucing hitam. Fiona menghela nafas panjang dan menggeleng kecil. Mana mungkin ini akan berhasil? Beberapa detik kemudian kucing yang dari tadi hanya diam mulai mengeong kencang. Air danau itu tak lagi tenang, sebuah pusaran air kecil muncul tepian. Fiona tak mempercayai yang ia saksikan sekarang. Seorang peri muncul dihadapannya.
“Halo Fiona,” Gadis yang disapa masih terdiam.
“Fiona?” Peri danau kembali memanggilnya.
“B-Bagaimana kau,, tau namaku?” Peri itu hanya tersenyum kecil sambil mengedikkan bahunya.
“Aku ingin membawa kembali kekasihku, hugo. Dia telah meninggal.” Ucap Fiona.
Peri danau menggeleng kecil. Dia tidak bisa mengabulkan hal itu.
“Aku tau Hugo telah meninggal, para hewan memberikan kabar itu padaku. Hugo mengajakmu kesini karena dia tau kalau kau pasti percaya akan keberadaanku,” kalimat itu sontak membuat Fiona terkejut.
“Aku tidak bisa melawan kematian Fiona, tidak ada yang bisa melawan hal itu namun, aku bisa mengelabui waktu,” jelas peri danau. Fiona mengerutkan dahinya. Mengelabui waktu, Apa itu?
“Aku akan memberikanmu sebuah jam pasir. Setiap kali kau membaliknya maka jam pasir itu akan membawamu ke hari dimana Hugo meninggal lalu setelah putaran waktu itu selsai kamu akan langsung kembali di waktu kamu menggunakan jam pasir ini. Jam pasir ini bisa menipu waktu namun tidak bisa menipu dirimu dan hugo sebagai tokoh yang paling terlibat, orang-orang lain yang tidak penting tak akan menyadarinya jika waktu telah diputar. Hanya kau dan hugo yang akan sadar, bagaimana?”
Sebuah tawaran yang sangat indah. Fiona mengangguk cepat. Senyumnya mengembang kembali. Peri danau menyerahkan jam pasir tersebut ke tangan Fiona. kemudian menghilang tanpa mengucap sampai jumpa.
Pagi berikutnya Fiona menatap jam pasir itu lekat-lekat. Bagaimana mungkin hal ini dapat membalik waktu? Fiona mencoba membalik jam pasir, membiarkan setiap butir pasir itu turun lalu sebuah kilatan cahaya muncul di hadapannya. Sesuatu telah terjadi. Fiona mengecek handphonenya. 31 desember 2023. Peri danau itu benar-benar dapat mengelabui waktu. Senyum Fiona merekah, kerutan kecil di ujung matanya terlihat jelas. Sesaat kemudian sebuah ide muncul dalam pikirannya. Jika peri danau tak bisa mengembalikan Hugo, kenapa ia tidak gagalkan saja kematian Hugo malam ini?
Toko roti tutup pukul 5 sore sama seperti setiap tanggal 31 desember di setiap tahun. Kemudian sama persis seperti sebelumnya, Hugo datang tepat 10 menit setelah toko tutup untuk menjemput Fiona dan mengantarnya ke apartemen kecil dan memberikan setangkai mawar merah.
Kejadian 24 jam yang lalu benar-benar terulang. Fiona tau apa yang harus dia lakukan.
Pukul 8 malam hugo kembali menjemput Fiona dengan sepeda hitam dan lambaian tangan penuh semangat. Mereka tetap menonton film di hari itu. Salju turun dengan lebat kemudian sama seperti sebelumnya Hugo membisikan sesuatu di telinga Fiona namun kali ini ia menggeleng. Menolak ide bagus dari Hugo.
“Fiona, aku tau apa yang sedang kau lakukan,” ucapnya. Fiona diam.
“Kita harus pergi ke taman.” Dia langsung menarik tangan Fiona keluarg gedung bioskop dan memboncengnya menuju taman. Hugo mengayuh sepeda dengan sangat cepat. Taman itu membeku sama seperti sebelumnya dan mereka berhenti di bawah lampu taman tua yang bersinar seadanya. cahayanya temaram.
“Berdansalah denganku,” pinta Hugo. Telapak tangannya menengadah.
“Tidak, kita harus pergi dari sini Hugo!” Fiona berjalan menjauh ia tidak ingin berdansa. Ia tidak ingin semuanya terulang kembali.
“Aku tau apa yang telah kamu lakukan, aku tau ini semua telah terjadi. Bukankah peri danau telah meberitahumu bahwa aku juga akan sadar saat waktu diputar kembali?” Hugo berjalan mendekat. Fiona terdiam di tempat. Wajahnya membeku dingin dan air mata mengalir perlahan.
“Lalu mengapa? Bukankah akan indah jika semuanya berjalan berbeda kali ini?!” suaranya serak. Fiona hampir tak pernah berteriak sebelumnya namun kali ini ia menjerit. Suara itu penuh sekali dengan rasa sakit. Hugo menggeleng lemah. Ia mendekatkan wajahnya ke arah Fiona yang marah lalu membisikkan sesuatu di telinganya,
“Tidak indah.” Fiona menatap Hugo marah. Mengapa dia tidak ingin berusaha untuk menghindari kematiannya sendiri?
“Tidak ada seorang pun yang mampu melawan kematian Fiona, bahkan peri danau juga tak punya kekuatan itu bukan?” Fiona mengangguk. Hugo mengelus kepala Fiona perlahan. Tatapan mereka bertemu.
“Aku tidak ingin kita hidup dalam ilusi, aku tak dapat menghindari kematian meski aku tidak datang ke taman ini seperti yang kau minta aku akan tetap meninggal hari ini. Memang begitu takdirnya, Fiona.”
“Tidak!” Gadis itu berjalan menjauh. Ia tidak ingin menerima nasehat apapun dari Hugo. Ia menggeleng dengan keras. Gadis itu tak lagi berada dalam lingkaran cahaya lampu tua.
“Fiona, aku mohon,” Hugo berkata dengan lembut. dia berusaha untuk menyentuh telapak tangannya namun gadis itu bersikukuh. Hugo menghembuskan nafas berat.
“Aku begitu mencintaimu, sangat mencintaimu karena itu aku ingin menghabiskan beberapa menit terakhirku bersama dirimu,” ucapnya. Fiona terduduk lemas di atas salju yang lembut.
“Aku mohon Fiona, berdansalah denganku,” ia mengulurkan tangannya pada Fiona yang menangis. Masih tak ada jawaban.
“Mari kita habiskan waktu ini bersama, lalu mendekap semua rasa sakitnya bersama,” Fiona mengangguk. ia menerima tawaran Hugo. Kemudian sama seperti sebelumnya dansa kecil mereka disinari oleh cahaya temaram lampu tua. Tanpa musik. Hanya suara gesekan dari langkah-langkah kecil mereka.
“Kau mungkin tak akan bertemu lagi dengaku Fiona namun, aku tak akan pernah pergi. Aku yakin kisah kita tidak sempurna namun kisah ini cukup indah untuk kau peluk dan terima apa adanya,” Ucap Hugo. Suaranya lembut dan begitu indah. Fiona menangis dalam dekapan Hugo yang hangat. Tepat setelah itu suara baku tembak mulai terdengar.
Hugo tersenyum, mereka masih berdansa. Hugo mengangguk kecil sambil menatap Fiona. sebuah anggukan yang berat baginya. Fiona masih menggeleng. Air matanya mengucur deras.
“Terimalah semua ini sayang, aku mencintaimu Fiona.” setelah itu Fiona merasakan hangat di keningnya dan sebuah suara tembakan keras.
Timah panas itu sekali lagi bersarang dalam jantung Hugo. Ia mengelus wajah Fiona perlahan. Wajah itu basah oleh air mata. Ia mengangguk menatap Fiona.
Kali ini Fiona mengangguk.
Untuk yang kedua kalinya Fiona memeluk jasad kekasihnya di tengah langit yang penuh dengan kembang api.
Hari kedua di tahun 2024. Fiona masih menemukan bunga mawar layu di kamarnya dan sebuah jam pasir. Ia menghembuskan nafas berat. Dia tidak bisa melihat jam pasir itu tanpa berpikir untuk menggunakannya. Fiona akan pergi ke danau.
Kali ini danau terlihat cukup ramai dan indah. Begitu banyak kebahagiaan. Fiona duduk di bangku putih sambil menaruh jam pasir itu di sampingnya. Ia menyaksikan matahari terbit bersama dengan kucing hitam dan kenangan indah bersama hugo.
Ia menghembuskan nafas berat lalu perlahan air matanya jatuh. Namun kali ini Fiona sudah lebih baik. Ia siap memeluk semua luka dalam hidunya.
“Terima kasih peri danau, aku ingin mengembalikan ini padamu,” katanya perlahan.
Fiona pergi dari danau. Ia menoleh sebentar ke belakang kemudian tersenyum.