Tunjangan Profesi dan Pengkastaan Profesi Guru

Pembukaan undang-undang dasar menyatakan tujuan kemerdekaan Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Hal ini tertera dalam alinea ke-tiga dari pembukaan undang-undang dasar negara Republik Indonesia 1945. Sebagaimana yang dimaksud dalam mencerdaskan kehidupanbangsa termasuk diantaranya pembangunan dalam sumber daya manusia yang sejalan dengan cita-cita Indonesia emas di tahun 2045 nanti. 

 

Pendidikan merupakan bagian penting dalam pembangunan sebuah bangsa. Keberlanjutan sebuah bangsa dapat diukur dari kemajuan pendidikan di negara tersebut. Kekuatan pendidikan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia membuat pendidikan tidak bisa dipandang sebelah mata. Pelaksanaan pendidikan di lapangan tidak bisa terlepas dari peran guru sebagai salah satu profesi dalam proses pendidikan. Guru merupakan profesi yang dijamin dalam Undang-undang nomor 14 tahun 2005. Undang-undang tersebut mengatur tentang Guru dan Dosen di Indonesia. Undang-undang ini mengatur berbagai aspek terkait dengan guru dan dosen, termasuk kedudukan, persyaratan, hak, kewajiban, dan pembinaan profesi mereka. 

 

Selama ini di masyarakat, profesi guru masih di glorifikasikan dengan “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa’. Sehingga saat melihat antara hak dan kewajiban sebagai seorang profesional, beberapa pihak masih menganggap wajar tentang wacana bahwa menjadi seorang guru harus bersikap menerima saja imbal hasil yang didapat yang mungkin bagi beberapa kondisi, sudah tidak lagi memenuhi kriteria untuk berkehidupan secara layak. Selain itu, adanya perbedaan status guru di setiap lembaga pendidikan (baik yang diselenggarakan pemerintah dan masyarakat) turut serta dalam pengkastaan yang berakibat adanya ketimpangan hak yang didapatkan oleh seorang guru terutama dari sisi finansial.

 

Sikap pemerintah dengan memberikan tunjangan profesi kepada profesi guru patut diapresiasi. Namun, hal ini tak lepas dari kontroversi apakah tunjangan tersebut dimaksudkan sebagai bentuk pengakuan profesionalisme guru atau sebagai bantuan pemerintah agar guru mendapatkan (setidaknya) upah yang layak dalam melakukan profesinya. Bila tunjangan profesi guru dilihat sebagai bentuk bantuan dalam hal finansial, maka perlu dipertanyakan mengapa ada syarat dan ketentuan dalam penyaluran tunjangan tersebut?. Persoalan selanjutnya, apabila tunjangan profesi dilihat sebagai bentuk apresiasi atas profesionalisme seorang guru dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, mengapa dalam Persesjen nomor 1 tahun 2025 pasal 6 ayat 2 butir (b) tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Penyaluran Tunjangan Profesi dan Tunjangan Khusus Guru Bukan Aparatur Sipil Negara Tahun Anggaran 2025, guru yang mengajar pada Satuan Pendidikan Kerjasama (SPK) tidak mendapatkan haknya dalam mendapatkan tunjangan profesi tersebut?

 

Tentunya hal di atas menjadi pertanyaan yang mendasar mengenai dasar diberikannya tunjangan profesi guru. Sebagaimana seharusnya guru tidak dibedakan berdasarkan tempat mengajarnya. Sementara dilapangan terjadi pengkastaan yang sebut saja ada istilah guru honorer, guru PPPK, guru honorer swasta, dan guru tetap yayasan. Setiap istilah itu telah mengkotak-kotakkan hak yang bisa didapatkan oleh individu yang menyandang status tersebut. Hal ini belum ditambah dengan rumitnya regulasi mengenai sertifikasi guru dan hal administratif lainnya. Sehingga semakin sulit juga mendapatkan nilai asli dari pendapatan seorang guru secara transparan. Hal ini berbeda dengan profesi lain dimana pemerintah melalui kementerian tenaga kerja dapat melihat pendapatan setiap karyawan secara transparan melalui potongan BPJS Tenaga Kerja.

 

Niat baik Kementerian Pendidikan terutama Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dapat terlihat dari animo pemerintah dengan mengadakan konsolidasi nasional di tahun 2025 yang melibatkan banyak pihak semoga menjadi arah pergerakan baru bagi tercapainya tujuan sistem pendidikan Indonesia. Terkhusus pada masalah penyamaan persepsi hak dan kewajiban guru sebagai profesional yang seharusnya mendapatkan hak hidup yang layak sebagai bentuk apresiasi pada profesi yang diemban. Semoga apresiasi yang diberikan akan sejalan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia sesuai tujuan kemerdekaan Indonesia. Hal ini diperkuat dengan peluncuran program bantuan untuk guru honorer yang belum tersertifikasi. Patut didukung juga percepatan program bantuan pendidikan bagi guru yang belum memenuhi kualifikasi akademik sesuai program yang diampu. 

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *